Kun Masora mengingat cerita kejadian naas pada tahun 1918 itu. Di Tanah Toraja, pemuka adat Toraja itu menyatakan bahwa ada wabah besar yang membunuh banyak orang Toraja.
Kata dia, Tiga bibinya meninggal pada waktu bersamaan. “Mereka semua meninggal setelah demam tinggi berhari-hari,” ungkap pria 70 tahun itu ketika diwawancarai, dikutip dalam buku Yang Terlupakan: Pandemi Influenza di Hindia Belanda 1918.
Ibu Masora, meninggal tahun 1995, berulang kali menceritakan pembunuh massal tersebut kepada anak-anaknya tiap ada pertemuan keluarga. Dan, itu disampaikan secara turun-temurun, seperti tradisi lisan.
Baca juga:
Menyorot Flu Spanyol: Senjakala Pandemi Tempo Dulu
Perbandingan antara Penyebaran Covid 19 dengan Flu Spanyol
Asal Mula Wabah Flu Spanyol di Indonesia
Tak hanya Kun Masora dan ibunya, Tato Dena juga mendapatkan cerita yang sama. Tokoh adat Toraja yang seringkali memimpin upacara adat animisme-dinamisme itu mengatakan, kematian massif dan serentak tersebut disebabkan oleh sebuah penyakit yang menular antarmanusia.
Berdasarkan penuturan ayahnya, udara kala itu seperti diracuni. “Tidak ada satu keluarga pun yang tidak kehilangan anggotanya,” katanya. Bahkan, lanjutnya, orang yang pergi menguburkan meninggal setelah bersentuhan dengan jasad yang dikubur.
“Ayah saya bilang saat itu penduduk tidak punya waktu untuk mengubur orang jadi hanya diletakkan di pemakamanpemakaman di seluruh Toraja,” tambahnya.
Berdasarkan catatan pemerintah colonial, pandemi itu bernama Influenza. Tapi, orang Toraja mengenal pagebluk itu dengan nama Raa’ba Biang yang mempunyai arti “pohon/dahan/ilalang yang berjatuhan.” Ketika itu, ratusan orang Toraja meninggal dunia dalam seketika. Pemerintah kolonial Hindia Belanda memperkirakan sekitar 10 persen dari tiga ribu populasi Toraja meninggal. Tapi menurut pengakuan ibunda Masora, hampir setengah populasi Toraja saat itu meninggal dunia.