Malapetaka penyebaran awal wabah influenza (Flu Spanyol) itu diketahui berasal dari Kota Medan, lalu menyebar ke banyak daerah pada 1918.

Diulas dalam buku Pengalaman Indonesia dalam Menangani Wabah Covid-19, Sejarawan Djoko Marihandono memaparkan bahwa Flu Spanyol, sebutan lain influenza, menyebar ke Indonesia melalui beberapa kapal laut dari Singapura ke kota itu.

Kapal Maetsuycker berisikan awak dan penumpang yang mengidap virus. Begitu pula Kapal Singkarah, semua awak dan penumpangnya terjangkit virus itu. Ada lagi Kapal Treub yang terkonfirmasi 35 orang tertular virus setelah bertolak dari Singapura.

Wabah flu Spanyol kemudian menyebar dan membunuh 60 polisi di Medan dalam waktu singkat. Sehari kemudian, seratus kuli Cina meninggal dunia akibat penyakit ini.

Beberapa waktu kemudian, layanan kesehatan dipenuhi dengan para pasien. Dokter-dokter di Medan hampir tak percaya bahwa rumah sakit penuh dengan pasien. Mereka pun tak berdaya, dan hanya membagi resep pil kina.

Baca juga:

Memberantas Flu Spanyol ‘ala’ Pemerintah Kolonial

Menyorot Flu Spanyol: Senjakala Pandemi Tempo Dulu

Cerita Pandemi Flu Spanyol di Tanah Toraja

Berangkat dari Medan, wabah kemudian menyebar ke wilayah Jawa. Kapal Lematre berangkat dari Bangkok menuju Medan dengan sebelumnya singgah  di Singapura terlebih dahulu. Setelah dari Singapura, kapal berangkat ke Medan, lalu ke Batavia. Diketahui, kapal tersebut juga berisikan orang-orang yang terjangkit wabah.

Ternyata, pada saat yang sama, ditemukan beberapa kasus penyebaran wabah di Batavia. Petugas menemukan 77 orang terjangkit Flu Spanyol di penjara Batavia. Begitu pun di kereta api. Petugas Departemen Kesehatan menemukan, terdapat 90 juru rem, 22 masinis, dan 43 petugas duane terserang virus tersebut.

Wabah Flu Spanyol juga menyebar di kalangan militer. Ditemukan 100 kasus pasien baru di asrama tentara batalyon ke-16, Meester Cornelis. Korban juga termasuk elite, di antaranya Komandan Mayor Smits, Letnan Schmidt, dan Letnan Willensen.

Dalam waktu singkat, layanan kesehatan menjadi luar biasa sibuk. Para dokter di Batavia kewalahan menerima pasien yang dikirim ke rumah sakit, sementara daya tampungnya terbatas.

Para pasien harus dirawat di lorong rumah sakit atau tempat lain yang memungkinkan digunakan sebagai tempat perawatan. Bahkan, mereka terpaksa harus membawa alas tidur sendiri yang digelar di atas lantai rumah sakit tanpa tempat tidur, lantaran keterbatasan tempat tidur.

Kejadian tersebut mirip dengan apa yang terjadi saat ini—wabah Covid-19. Kepanikan dan penyebaran massif pun juga sama terjadi. Hanya saja, penyebaran Covid-19 yang diketahui di Indonesia saat ini berawal dari kasus dansa-dansi.

Penulis

  • Agil Kurniadi

    Lulusan Sejarah S1 dan S2 Universitas Indonesia ini merupakan penulis yang bergerak di berbagai isu seperti politik, ekonomi, dan sosial-budaya. Beberapa karyanya tercatat dalam konferensi nasional dan internasional. Ia sempat mempresentasikan karyanya di Universiti Malaya, sebuah universitas terbaik di Malaysia, tentang Reevaluasi Pembangunan di Timor Timur.

    Lihat semua pos

Share this post

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Open chat
Hai, ada yang bisa dibantu?