Keadaan negara sebelum terjadi kudeta 1965 dibayangi banyak “bencana”. Beragam kondisi mengkhawatirkan hadir di jagad tanah air.
Sejarawan Onghokham merekam jejak itu.
Menurutnya, Indonesia saat itu terjebak dua kekuatan besar, komunisme (Uni Soviet dan Cina) dan kapitalisme (Amerika Serikat), yang hendak mencengkram bangsa ini. Konflik Irian Barat, konfrontasi Malaysia, dan krisis internal politik di tanah air mewarnai itu semua.
Tahun 1962-1963, Ong menyaksikan bagaimana krisis-krisis lainnya juga turut melanda negeri ini.
Musim kemarau berkepanjangan, gagal panen padi, serta hama tikus yang dahsyat merusak semua tanaman dan mengakibatkan kelaparan di Pulau Jawa.
Bahkan, saking dahsyatnya hama tikus, Ong mengingat bagaimana ratusan tikus melewati jalan-jalan saat disorot menggunakan lampu mobil. Konon, tikus-tikus itu ada yang memakan bayi dan anak kecil.
Kemudian, berbagai bahan makanan pokok dan keperluan sehari-hari hilang dari pasar. Harga beras terus membumbung tinggi; gula dan tepung sulit diperoleh. Ong menyebutnya sebagai “zaman antrian”.
Orang-orang juga mulai tak bisa menikmati hiburan. Di bioskop, tempat hiburan tren kala itu, Ong mengingat bagaimana kutu-kutu busuk merusak tempat duduk dan mengganggu penonton, termasuk bioskop kelas satu sekelas Megaria (Kini Metropole) sekalipun.
Kejadian tersebut tak hanya terjadi di bioskop, tapi juga di hotel, rumah golongan menengah, hingga kraton.
“Kalau petani di pedesaan diganggu tikus yang memakan panen padinya, orang kota diganggu oleh kutu busuk. Kedua-duanya merajalela, tanda zaman edan…” tulis Onghokham dalam kajian “Refleksi tentang Peristiwa G 30 S (Gestok) 1965 dan Akibat-Akibatnya”.
Baca juga: Radio di Tengah-Tengah Kudeta 1965
Tapi di sisi lain, kontrasnya, Presiden Sukarno justru mengadakan proyek mercusuar seperti Asian Games, Stadion Senayan, Hotel Indonesia, Conefo, dan Ganefo.
Pada 1964-1966, sebagian elite hidup mewah. Orang-orang borju hidup dalam kompleks perumahan mewah, naik mobil bagus, dan relatif terisolir dari kehidupan rakyat.
Sementara, ada orang-orang dari desa yang pingsan karena kurang makan, sepenglihatan Ong pada tahun 1965.
Singkatnya, sebagaimana diungkap Ong, tampak terjadi suatu ketimpangan yang begitu besar dan terlihat di depan mata. Ketimpangan itulah yang menjadi awal bencana 1965.