Petugas Dan Unit tahanan politik (Tapol) Pulau Buru, Kepulauan Maluku, tampak terheran-heran dengan pengaduan sekelompok warga.

Kepala Adat (Mauweng) dan Kepala Soa mendatangi petugas atas masalah pengaduan pihak suami mengenai kasus perzinaan yang dilakukan istrinya dengan Tapol Buru (yang tak disebutkan namanya).

Kedatangan ini bertujuan untuk menelusuri kebenaran atas kasus tersebut. Atas dasar itu, petugas Dan Unit memberikan pertanyaan tampak nyeleneh kepada si istri yang diketahui berzina.

“Mengapa kamu sudah bersuami, tetapi keto-keto (red: bersetubuh) sama Tapol? Kamu suka sama Tapol?” tanya petugas.

“Suka sekali Bapa!” jawab perempuan itu.

“Mengapa suka? Apa lebih lebih enak?”

“Ya, enak sekali Bapa! Bapa Tapol tahu banyak cara. Bapa (Tapol) main dari muka sambil main mulut dan tetek…”

Begitulah cuplikan wawancara atas kasus tersebut, seperti diulas dalam kajian “Tahanan Politik Orde Baru di Pulau Buru 1969-1979”.

Baca juga: Baca juga: Setelah Kudeta 1965: Kisah Tapol di Pulau Buru (Bagian I)

Sebetulnya bukan pertanyaan aneh dan jawaban tolol itu yang ingin disorot, tetapi yang menarik adalah bagaimana kasus tersebut mampu meruntuhkan tradisi keto-keto yang ada di wilayah itu.

Tradisi di sana disebutkan, sepasang suami-istri yang ingin keto-keto harus di luar rumah. Sebelum melakukannya, mereka memasang koit atau tanda ke tempat yang sudah ditentukan. Orang-orang dilarang mengintip keto-keto yang dilakukan di luar rumah.

Saat keto-keto, pasangan saling berkejar-kejaran sambil ribut hingga si perempuan berhenti. Setelah itu, si perempuan membuka celana dan menungging sambil berpegangan pohon. Si laki-laki kemudian menyetubuhinya dari belakang—mungkin disebut doggy style.

Jika keto-keto itu perzinaan, walaupun dilandasi suka sama suka, si perempuan biasanya melapor kepada suaminya setelah berzina, dengan harapan memperoleh denda harta dari si lelaki pezina.

Kehadiran Tapol Buru justru meruntuhkan tradisi tersebut. Dalam kasus itu, si Tapol justru keto-keto dengan perempuan pezina di rumahnya, bukan di luar rumah.

Dan juga, si Tapol menyetubuhi perempuan pezina lewat gaya baru yang diperkenalkannya dengan senang hati. Bahkan, Tapol itu mampu memberikan kenangan manis kepada si perempuan pezina sehingga tak ada denda harta yang didapatnya.

Dengan tidak adanya denda, si suami marah besar. Ia memukuli istrinya, si perempuan pezina, dengan rotan.

Apa yang terjadi pada kasus perzinaan Tapol Buru ini menjadi bagian dari banyak  kasus yang ada di tahanan Pulau Buru.

Kecenderungan perzinaan tampaknya besar lantaran para warga setempat belajar bercocok tanam sistem irigasi—meninggalkan sistem pertanian huma—kepada mereka. Mungkin saja, banyak kasus perzinaan yang tak terungkap kala itu.

Baca juga: Bayang-Bayang “Bencana” Sebelum 1965

Penulis

  • Agil Kurniadi

    Lulusan Sejarah S1 dan S2 Universitas Indonesia ini merupakan penulis yang bergerak di berbagai isu seperti politik, ekonomi, dan sosial-budaya. Beberapa karyanya tercatat dalam konferensi nasional dan internasional. Ia sempat mempresentasikan karyanya di Universiti Malaya, sebuah universitas terbaik di Malaysia, tentang Reevaluasi Pembangunan di Timor Timur.

    Lihat semua pos

Share this post

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Open chat
Hai, ada yang bisa dibantu?