Kecintaan Mangkunegoro VII terhadap seni budaya Jawa untuk terus dikembangkan ternyata berujung pada pengembangan radio di Solo.
Saat membina perkumpulan kesenian Jawa bernama Javansche Kuntskring Mardiraras pada 1925, pejabat elite Praja Mangkunegaran itu berupaya mempopulerkan seni karawitan Jawa kepada orang-orang Jawa.
Melalui call sign Pemancar Kring Ketimuran Mangkunegaran (PK2MN) miliknya, Javansche Kuntskring Mardiraras melantunkan gendhing-gendhing atau nyanyian Jawa yang disebut Klenengan di lingkungan istana Mangkunegaran.
Tapi, Mangkunegoro VII tak puas dengan itu. Alat-alatnya telah termakan usia dan mulai rusak. Ia kemudian meminta RM Sarsito Mangunkusumo yang menjadi pengurus Javansche Kuntskring Mardiraras untuk memperbaikinya.
Saat itu, memang eranya radio. Dalam rapat hari Jumat, 1 April 1933, Sarsito mengusulkan berdirinya organisasi mandiri tentang radio bersama delapan orang lainnya.
Baca juga: Beragam Radio Era Hindia Belanda
Ia juga memiliki cita-cita mendirikan radio penyiaran baru yang menjunjung tinggi derajat kebangsaan nusantara dengan mengangkat dan menyempurnakan kesenian. Karena, menurutnya, matinya kesenian mengakibatkan merosotnya derajat kebangsaan—dalam ulasan RRI Surakarta: dari Radio Komunitas Menjadi Radio Publik.
Akhirnya, disepakati berdirinya Perhimpunan Radio Omroep yang bernama Solosche Radio Vereeniging (SRV) dengan Sarsito sebagai ketuanya. SRV berfokus kepada siaran radio pengembangan musik Jawa seperti seni karawitan dan orkes kroncong.
Baca juga: SRV versus NIROM: Potret Persaingan Radio Zaman Belanda
SRV menjadi salah satu dari beragam radio yang muncul di Hindia Belanda (kini Indonesia) tahun 1930-an. Yang tak kalah penting, SRV disokong penuh secara pendanaan oleh Mangkunoegoro VII.