Penemuan Marconi terkait radio memang bukan kaleng-kaleng. Setelah radio banyak dikembangkan generasi penerusnya, benda ini menjadi salah satu sarana komunikasi yang juga penting untuk menyampaikan pesan-pesan.

Baca juga: Radio: Dari Tanah London ke Indonesia

Termasuk di wilayah Hindia Belanda (kini Indonesia), pun demikian. Enam tahun setelah perang dunia I, siaran radio pertama di Indonesia dilakukan Bataviase Radio Vereniging (BRV) di Batavia (kini Jakarta). Status stasiun radio ini berstatus swasta.

Setelah itu, muncullah beragam stasiun radio di berbagai wilayah Hindia Belanda. Berbagai stasiun radio yang diketahui sebagai berikut:

  • (SRV), Vereniging voor Oosterse Radio Omroep (VORO), dan Chineesee en Inheemse Radio Luisteraas Vereniging Oost Java (CIRVO) di Solo atau Surakarta;
  • (NIROM) di Jakarta, Bandung, dan Medan dan daerah-daerah lain.
  • Meyers Omroep voor Allen (MOVA) dan Algeemene Vereneging Radio Omroep (AVROM) di Medan;
  • Mataramsche Vereniging voor Radio Omroep (MAVRO) di Yogyakarta;
  • Vereniging voor Radio Omroep Luisteraas (VORL) di Bandung;
  • Eerste Madiunse Radio Omroep (EMRO) di Madiun

Dari berbagai macam stasiun radio tersebut, ada yang Saya sorot. NIROM memiliki keistimewaan dibanding stasiun radio lainnya. Stasiun radio ini memiliki beberapa cabang di kota-kota besar, seperti Bandung, Surabaya, Solo, Semarang, Medan, dan Yogyakarta.

NIROM digunakan Pemerintah Kolonial untuk menyiarkan  propaganda-propaganda kolonial. Atas sokongan Pemerintah kolonial, NIROM mendapat izin untuk menambah operasi sepanjang wilayah Jawa via kantor pos dan telegraf dan mendapat retribusi radio—menurut buku Media, Culture and Politics in Indonesia.

Sehingga, dengan mudah stasiun radio itu bisa meningkatkan daya pancar dan memperbanyak jumlah stasiun relay.

Meski sebagian konten radio disusupi propaganda-propaganda kolonial, radio juga menjadi salah satu hiburan masyarakat kala itu.

Menurut Sejarawan Adrian Vickers dalam A History of Modern Indonesia, radio pada umumnya menghibur masyarakat melalui penyiaran musik, terutama musik kroncong. 

Namun, tak banyak orang Indonesia yang bisa menikmati radio saat itu. Hanya orang-orang Belanda yang sebetulnya benar-benar menikmati siaran radio, teknologi menghibur yang modern pada masanya.

Baca juga: Ketika Jepang“Membajak” Radio

Penulis

  • Agil Kurniadi

    Lulusan Sejarah S1 dan S2 Universitas Indonesia ini merupakan penulis yang bergerak di berbagai isu seperti politik, ekonomi, dan sosial-budaya. Beberapa karyanya tercatat dalam konferensi nasional dan internasional. Ia sempat mempresentasikan karyanya di Universiti Malaya, sebuah universitas terbaik di Malaysia, tentang Reevaluasi Pembangunan di Timor Timur.

    Lihat semua pos

Share this post

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Open chat
Hai, ada yang bisa dibantu?