Kudeta 1965 tak bisa lepas dari dinamika segitiga politik antara Presiden Sukarno, Partai Komunis Indonesia (PKI), dan militer. Antara militer dan PKI memperebutkan kuasa politik Sukarno yang berada di tengah-tengah.
Baca juga: Bayang-Bayang “Bencana” Sebelum 1965
Sukarno menjadi penyeimbang dalam dinamika politik segitiga politik tersebut. Tetapi lama-kelamaan, Ia cenderung melindungi PKI (Irwan Gardono Sujatmiko, “Kehancuran PKI Tahun 1965-1966”). Sehingga, PKI menjadi merasa dilindungi dan paling berkuasa atas lawannya.
Ketika Sukarno sakit dan harus menjalani perawatan, tak ada lagi penyeimbang. Dinamika politik itu tak bisa terhindarkan lagi hingga pecah pada 30 September 1965.
Ketika Letkol Untung mengumumkan terbentuknya “Dewan Revolusi” di radio-radio, Pasukan Cakrabirawa mendatangi rumah enam elite jenderal negeri ini, lalu menculik dan membunuh mereka.
Peristiwa itu langsung membelah bangsa ini terbagi menjadi dua: Pro PKI dan Anti PKI. Maka, cepat atau lambat, muncul sebuah persepsi bahwa dalangnya adalah PKI beserta Biro Khusus mereka yang membina militer.
Baca juga: Radio di Tengah-Tengah Kudeta 1965
Tuduhan PKI dalam peristiwa 1965 menjadi pemicu nasional terjadinya polarisasi yang cepat menjalar ke seluruh daerah di Indonesia.
Seperti the turning point—suatu titik balik, peristiwa ini menjadi kesempatan emas untuk membuat perlawanan atas dominasi PKI di negeri ini.
PKI kalah oleh Anti PKI secara agitasi. Alhasil, kekerasan yang terjadi membesar ke berbagai daerah-daerah, utamanya di Jawa. PKI hancur setelah itu.
Bagi Sejarawan Taufik Abdullah, ketika “Dewan Revolusi” diumumkan, maka periode baru telah dimulai.
Siapapun yang mengalami suasana tersebut, perubahan bukan lagi sebuah idaman. “Bahkan juga bukan pula hanya sebuah keharusan moral atau ideologis, tetapi keharusan sejarah yang tak terpungkiri,” ungkap Taufik dalam kajian “Perdebatan Sejarah dan Tragedi 1965”.
Baca juga: Setelah Kudeta 1965: Kisah Tapol di Pulau Buru (Bagian I)