Apa yang Anda pikirkan tentang tentara Amerika Serikat (AS) ketika menonton film-film perang? Tentu tidak lepas dari kesan heroisme dan patriotisme. Apalagi, ketika kita melihat bagaimana aksi John Rambo di perang Vietnam.

Sayangnya, semua itu hanyalah budaya populer yang berupaya mencitrakan AS sebagai Good cop dan Soviet sebagai Bad cop. Apalagi kalau sudah membicarakan Jepang pada era Perang Dunia II, publikasi-publikasi mulai dari fiksi dan non-fiksi di AS pasti membingkai Jepang dengan segala macam kejahatan perangnya, terutama kejahatan seks.

Dalam sejarah eksistensi peradaban manusia, kejahatan seks terhadap perempuan merupakan hal yang hampir tak terpisahkan dengan perang. Kejahatan dilakukan mulai dari pemerkosaan yang dilakukan para serdadu, hingga praktek prostitusi paksa yang dibiarkan oleh institusi kemiliteran.

Kejahatan seks seolah menjadi manifestasi penaklukan suatu bangsa atas bangsa lain. Praktek semacam ini telah berlangsung sejak era Vikings hingga Perang Dunia II, bahkan setelahnya. Amerika yang digambarkan punya prajurit-prajurit heroik dan gentle pun tak terlepas dari kejahatan seks terhadap kaum perempuan.

Alkisah, Pukul 05.00 dinihari 18 November 1966 di desa Cat Tuong, distrik Phu My, Vietnam Selatan. Dalam sebuah gubuk, seorang gadis “cantik” berusia 21 tahun tengah terlelap di tempat tidurnya.

Tiba-tiba saja, sekelompok serdadu AS bersenjata lengkap memasuki gubuk dan menariknya dari tempat tidur secara paksa, gadis itu pun meronta dan menjerit ketakutan sembari mencoba melawan dengan pukulan-pukulan tak berarti.

Para serdadu membawanya ke luar gubuk, mengikat tangan, dan menyumpal mulutnya. Dalam keadaan tangan diikat dan mulut disumpal, Sang gadis dibawa paksa ke sebuah tenda.

Di dalam tenda, Sersan E. Garvase yang pemimpin kelompok serdadu tersebut mendekatinya dan berupaya melucuti pakaiannya secara paksa. Sang gadis meronta dan menjerit sekencang mungkin, namun tak berdaya. Sersan tersebut berhasil merebahkan tubuhnya dengan kasar.

Gadis itu masih meronta dan menjerit, sementara sersan tersebut menamparnya berkali-kali dengan keras hingga ia terdiam, merobek pakaiannya hingga compang-camping dan berhasil memperkosa Sang gadis.

Hingga matahari terbenam, tubuh Sang gadis melemah hingga tak berdaya lagi meronta. Lengkingan teriakan telah berubah menjadi rintihan sakit, pilu dan pedih, gadis itu dianiaya dan diperkosa secara bergiliran oleh empat dari lima serdadu tersebut.

Keesokan harinya, sekelompok serdadu tersebut terlibat baku tembak sengit dengan tentara Vietkong. Terlihat helikopter AS dari unit lainnya datang membantu, mereka pun mulai khawatir gadis yang mereka culik akan terlihat oleh kesatuan lain.

Secara normatif, menculik penduduk merupakan pelanggaran perang dan dapat dihukum. Salah seorang dari mereka pun diperintahkan untuk menghabisi nyawa Sang gadis dengan menikamnya berkali-kali dengan pisau berburu.

Para serdadu tersebut melanjutkan baku tembak dengan Vietkong, sementara pasukan AS lainnya mulai berdatangan membantu.

Secara tak terduga, Sang gadis ternyata masih hidup, perlahan merangkak, dan kemudian berjalan tertatih-tatih dalam keadaan sekarat bersimbah darah akibat ditikam berkali-kali. Ia terlihat mulai menghilang di antara dedaunan bukit.

Karena panik gadis tersebut akan terlihat oleh kesatuan lain, empat dari lima serdadu tersebut memutuskan untuk memberondong sang gadis yang tengah sekarat dengan senapan mesin dan seluruh persenjataan yang ada ditangan mereka. 

Sang gadis akhirnya terbunuh ketika seorang perajurit berhasil menghampirinya dan menembak kepalanya dengan menggunakan M-16 dari jarak dekat. Ia pun terjatuh dari bukit dan tewas seketika. Jasadnya ditemukan tergeletak  dalam keadaan membusuk dibalik bebatuan tiga minggu pasca kematiannya.

Kejadian tersebut menimpa gadis Vietnam bernama bernama Phan Thi Mao, terjadi dalam perang Vietnam dalam insiden bukit 192 yang diungkap oleh Daniel Lang pada 1969, dalam bukunya yang berjudul “The Casualties of War.

Daniel Lang, dalam publikasinya tahun 1969 (www.newyorker.com), memaparkan pengakuan para serdadu pasca insiden.

Prajurit Satu Storeby, serdadu yang tidak memperkosa Mao, menyebutkan bahwa gadis tersebut memiliki penampilan menarik, wajah yang ekspresif, bermata coklat, memiliki gigi emas, bertubuh ramping dan tinggi badan diatas Storeby.

Keterangan forensik ahli Patologi, Prof. Tadao Furue, di persidangan, bahwa “Dibandingkan dengan wanita ras Mongoloid lainnya, jasad Mao tergolong memiliki bentuk yang baik, pertumbuhan tubuhnya begitu baik dan seimbang”.

Pengakuan mereka di mahkamah militer mengesankan bahwa mereka tidak menganggap Mao sebagai manusia, melainkan objek seksual semata.

Salah satu prajurit menyebutkan, “Garvase menyatakan bahwa kami akan menculik wanita itu hanya untuk hubungan seks, pada hari kelima kami akan membunuhnya”.

Prajurit lain mengatakan, “Kami mendapat pengarahan dari (Sersan) Garvase , ia mengatakan bahwa kami akan menculik seorang gadis dalam patroli, kami membawanya untuk bisa bersenang-senang… Ia mengatakan hal itu akan (berdampak) baik untuk moral pasukan”.

Sementara itu, prajurit Storeby mengibaratkan cara rekannya menikam Mao seperti memperlakukan binatang, “Saya pernah menembak rusa dan menyembelih rusa, dan (kejadian) itu seperti menusuk rusa dengan belati hingga terjatuh..”

Selain kasus pemerkosaan, praktek prostitusi juga terjadi pada masa perang Vietnam. Kondisi perang kala itu telah menghancurkan kegiatan ekonomi. Pabrik-pabrik di Vietnam terpaksa mengimpor bahan baku produksi karena sulitnya akses semasa perang.

Hal tersebut berdampak pada pengetatan pengeluaran industri untuk buruh. Para perempuan kota yang rata-rata memiliki kemampuan bekerja di pabrik pun kesulitan mencari pekerjaan dan terpaksa menekuni dunia prostitusi demi bertahan hidup.

Di dalam tulisan Tatiana Turner yang berjudul “Gender Relationships Between American Soldiers and Vietnamese Women during The Vietnem War”, dijelaskan bahwa pada masa itu militer AS di Vietnam maupun markas besar Pentagon masih memandang pemerkosaan dalam perang adalah hal yang lumrah. Komando militer AS di Vietnam  bahkan berhasil menekan pemerintah Vietnam Selatan memfasilitasi prostitusi.

Hal ini mendorong pemerintah Vietnam Selatan merekrut para perempuan dengan iming-iming janji palsu. Kelak, mereka dipekerjakan di pabrik dan mendapat pendidikan, padahal nyatanya para perempuan ditempatkan di barak prostitusi.

Pada setiap barak, terdapat 4.000 pasukan AS, dan sekitar 120 perempuan yang dipersiapkan untuk memenuhi kebutuhan pasukan AS. Dengan kata lain, seorang perempuan Vietnam harus melayani sebanyak-banyaknya 34 pasukan AS. Ruangan-ruangan khusus di tiap barak pun dibuat untuk memfasilitasi praktek tersebut.

Permintaan pasukan akan prostisusi kian meningkat, pemerintah Vietnam Selatan  pun melegalkan berdirinya 200 agensi prostitusi di Saigon. Saat itu, terdapat sekitar 21.000 bar, hotel dan rumah bordil, dengan jumlah pekerja seks mencapai 500.000 perempuan.

Praktek prostitusi ternyata dimanfaatkan oleh NLF (National Liberation Front) Vietkong, dengan menerjunkan mata-mata wanita untuk bekerja melayani tentara AS di barak dan memata-matai barak, bahkan melakukan sabotase.

Meskipun telah diterapkan seleksi untuk mencegah masuknya mata-mata, tetap saja mata-mata NLF dapat melakukan aksinya. Pasukan AS lebih mementingkan pelayanan yang mereka peroleh dari para wanita tanpa memikirkan mereka adalah mata-mata atau bukan.

Editor: Agil Kurniadi

Penulis

Share this post

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Open chat
Hai, ada yang bisa dibantu?