“Revolusi Covid-19 berlangsung sangat spontan-organik. Bayangkan, dari sudut pandang virus corona semuanya ini adalah soal eksistensi spesies mereka: ini soal bagaimana mereka memperbanyak diri. Soal hidup atau mati. Suatu gerakan yang sangat progresif-revolusioner!”
Pernyataan geografer dan peneliti Bosman Batubara dalam tulisan “Revolusi COVID-19” di atas merupakan realitas saat ini.
Spesies baru virus telah muncul dan ia butuh inang untuk bertahan hidup. Buruknya, makhluk ini hidup dengan menggerogoti kesehatan inangnya, dan inang terbaik bagi mereka adalah manusia.
Virus corona adalah spesies berupa patogen. Kemunculan patogen yang membuat realitas sosial menjadi anomali ini merupakan fakta yang jamak terjadi sepanjang sejarah umat manusia.
Sejarah menunjukkan bahwa selain corona, terdapat patogen lain yang menimbulkan wabah besar. Sebagai contoh, Black Death atau Maut Hitam. Bisa dikatakan, wabah ini paling dekat dengan epidemi corona.
Baca juga:
Menyorot Flu Spanyol: Senjakala Pandemi Tempo Dulu
Perbandingan antara Penyebaran Covid 19 dengan Flu Spanyol
Cerita Pandemi Flu Spanyol di Tanah Toraja
Corona dan bakteri Bubonic Maut Hitam merupakan patogen penyebab epidemi global yang sulit ditangani dan sama-sama berasal dari Provinsi Hubei. Sejarawan, Ahmad Pratomo, menyebut bahwa kedua wabah tersebut lebih mengguncang ekonomi di berbagai negara dunia daripada wabah-wabah lain.
Wabah memang bisa memicu semua hal. Tercatat, revolusi muncul salah satunya diawali dari krisis akibat Maut Hitam. Bahkan, konon, renaisans Eropa diawali dari pemikiran wabah.
Merebaknya wabah mengakibatkan munculnya gagasan antroposentrisme yang menggantikan teosentrisme. Tuhan dianggap tidak hadir di tengah penderitaan manusia.
Selain revolusi pemikiran budaya, wabah juga memicu ekspedisi mencari rempah. Aroma rempah, terutama buah Pala, dianggap sebagai obat penangkal penyakit. Oleh sebab itu, kebutuhan terhadap Pala sangat tinggi.
Coba Anda bandingkan dengan era sekarang. Saat ini, pelan-pelan revolusi yang lembut juga dimulai, yakni adanya gaya hidup new normal di mana manusia harus selalu cuci tangan, menjaga jarak dalam pertemuan-pertemuan, dan cenderung menggunakan internet semakin tinggi.
Apakah persamaan pola sejarah persis berulang di era kini, setelah wabah Maut Hitam tahun 1347, mampu memporak-porandakan tatanan yang baku? Kita tidak memiliki jawaban yang pasti.
Penyebaran virus belum berakhir. Proses dialektis manusia menghadapi hal yang sama sekali baru tentunya menciptakan banyak benturan dalam realitas sosial.
Sejarah memberikan pelajaran berharga bagi siapa pun yang cermat menganalisis detail kejadian masa lalu untuk dikombinasikan dengan fakta peristiwa terkini. Harapan paling besar adalah mengkreasikan suatu tindakan yang meminimalisir dampak buruk dari perubahan sosial yang disebabkan oleh pandemi.
Editor: Agil Kurniadi