Soeara Merdeka menjadi salah satu surat kabar yang melawan sekutu untuk mempertahankan kemerdekaan sejak 1945. Ketika itu, Mohamad Koerdi memahami perasaan, kemauan, dan harapan khalayak pembaca.

Baca juga: Potret Pers Anti Kolonial: Kisah Si Koerdi dan Soeara Merdeka (Part 1)

Sebagai pemimpin redaksi, Koerdi menyerukan perlawanan kolonialisme sesuai dengan gayanya, yakni bersikap tenang dan elegan, tapi cukup tajam dan proporsional dalam melakukan kritik sosial.

Soeara Merdeka mengkritik tindakan sekutu dengan memplesetkan kata-kata secara satire.

Sikap Inggris kala itu dianggap melakukan politik intervensi di Indonesia. Padahal terbukti, tentara sekutu menduduki kota-kota penting di Jawa dan Sumatra yang menjadi daerah produksi. Tetapi, Inggris justru menjadi wasit dalam perundingan Indonesia-Belanda pada akhir tahun 1946.

Sikap keberpura-puraan itu menimbulkan kritik. Karenanya, Soeara Merdeka menyebut politik intervensi itu sebagai politik “incer bensin”. Istilah Wapenstilstand juga diplesetkan menjadi “wakil setan”.

Ketika tentara sekutu menembaki para pemuda dengan senjata mitraliur, surat kabar itu mengejek tindakan itu dengan “mata liuer”, alias membabi buta.

Soeara Merdeka juga mengejek tentara Belanda yang bangga dengan kehebatan Divisi 7 Desember yang didatangkan ke Indonesia. Mereka mengejeknya melalui catatan pojoknya dengan judul Memento Morie bahwa pemerintahan Belanda akan runtuh.

Catatan itu menyebut:

“Mereka membanggakan divisinja sebagai divisi jang istimewa (7 Desember).

Dan hari pemboekaan koperensi di Den Pasar mereka tetapkan 7 Desember (jang akan datang).

Dan tanggal 7 Desember itoe dimoelai roentoehnya Hindia Belanda.” (Jurnal Sejarah No. 13 Tahun 2007)

Tindakan-tindakan seperti inilah yang membuat pemerintah Belanda geram dan ingin melenyapkan Soeara Merdeka. Ketika terjadi Agresi Militer I Belanda terjadi pada 21 Juli 1947, tentara Belanda berhasil menduduki Tasikmalaya.

Tentara Belanda pun membredel surat kabar tersebut. Alhasil, sepak terjang perlawanan Soeara Merdeka berakhir jua hanya dalam waktu dua tahun.

Baca juga: Aksi Pemuda di Medan Perang

Penulis

  • Agil Kurniadi

    Lulusan Sejarah S1 dan S2 Universitas Indonesia ini merupakan penulis yang bergerak di berbagai isu seperti politik, ekonomi, dan sosial-budaya. Beberapa karyanya tercatat dalam konferensi nasional dan internasional. Ia sempat mempresentasikan karyanya di Universiti Malaya, sebuah universitas terbaik di Malaysia, tentang Reevaluasi Pembangunan di Timor Timur.

    Lihat semua pos

Share this post

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Open chat
Hai, ada yang bisa dibantu?