Perjuangan Mohamad Koerdi mendirikan surat kabar Soeara Merdeka tidak boleh dilupakan.
Pria kelahiran Ciamis, Jawa Barat, 10 September 1907, itu memang telah mengabdikan dirinya sebagai wartawan sejak menempuh pendidikan menengah.
Kala itu, Koerdi bekerja sebagai wartawan Sipatahoenan, pers milik organisasi Paguyuban Pasundan yang mula-mula terbit di Tasikmalaya pada 1927. Seiring perjalanan hidupnya, ia bergaul dengan tokoh-tokoh politik, seperti Otto Iskandar Dinata, Otto Koesoemasoebrata, dan RAA Wiranatakoesoemah.
Pengalaman Koerdi itulah yang membentuk prinsip dan karakternya: “singer tengah” atau moderat, tenang, rasional, dan demokratis.
Perjalanan hidup Koerdi mulai menarik ketika masa kolonialisme militer fasis Jepang pada 1942. Koerdi bergabung dengan surat kabar Tjahaja, pers milik Jepang yang terbit di Bandung.
Kesempatan bagi Koerdi datang untuk melompat lebih tinggi. Militer Jepang kalah pada Agustus 1945, begitu juga dengan surat kabar tersebut. Bersama Boerhanoeddin Ananda, Koerdi mengambil alih Tjahaja dan mengubahnya menjadi Soeara Merdeka pada September 1945. Boerhanoeddin menjadi pemimpin umum, sementara Koerdi menjadi pemimpin redaksi.
Baca juga: Mendesak Sukarno-Hatta untuk Merdeka
Kantor awalnya beralamat di Jalan Groot Postweg-Oost No. 54-56 Bandung—kini menjadi Jalan Asia Afrika.
Tapi pada November 1945, terjadi bencana banjir akibat meluapnya Sungai Cikapundung dan desakan tentara Sekutu agar kota Bandung dikosongkan pemuda. Kantor Soeara Merdeka dipindahkan ke daerah pedalaman, tepatnya di Jalan Glunggung No. 46, Tasikmalaya.
Ketika menjadi pemimpin redaksi surat kabar Soeara Merdeka, Koerdi memegang peranan penting dalam menentukan warna pemberitaan dan corak pandangan surat kabar itu.
Baca juga: Potret Pers Anti Kolonial: Soeara Merdeka Hantam Sekutu (Part 2)