Jarum jam mengarah pada pukul 5 sore. Di lokasi bekas Gedung Raad Van Indje Pejambon, Jakarta, delapan orang bekas Radio Hosu Kyoku bertemu bersama pemerintah Indonesia yang baru lahir.

Tepat pada 11 September 1945, delapan orang yang bernama Abdulrahman Saleh, Adang Kadarusman, Soehardi, Soetarji Hardjolukita, Soemarmadi, Sudomomarto, Harto, dan Maladi mendelegasikan lahirnya Radio Republik Indonesia (RRI).

Abdulrahman Saleh menjadi ketua delegasi dan mengutarakan pentingnya radio (Antara, 11 September 2020).

Bagi Karbol, sapaan akrabnya, kehadiran radio penting mengingat tentara sekutu akan mendarat di Jakarta pada akhir September 1945. Radio menjadi alat komunikasi pemerintah dengan rakyat lantaran lebih cepat dan tidak mudah terputus saat pertempuran.

RRI sebelumnya adalah konsorsium delapan stasiun radio lokal bentukan jaringan kendali Jepang.

Baca juga: Ketika Jepang “Membajak” Radio

Hasil dari pertemuan delapan delegasi itu akhirnya membentuk Persatuan Radio Republik Indonesia yang akan meneruskan penyiaran dari delapan stasiun di Jawa dari jaringan bentukan Jepang tersebut.

Abdulrahman bersama delegasi lainnya mempersembahkan RRI kepada Pemerintah RI sebagai alat komunikasi dengan rakyat. Pemimpin RRI pertama itu menghimbau agar semua hubungan antara pemerintah dan RRI disalurkan kepada dirinya.

Alhasil, Pemerintah RI menyetujui dan siap membantu RRI. Presiden Sukarno menempatkan RRI di bawah kendali Kementerian Informasi dan Radio.

Menurut buku Media, Culture and Politics in Indonesia, RRI memainkan peran besar dalam memberikan informasi tentang perjuangan kemerdekaan Indonesia kepada komunitas nasional dan internasional.

RRI mendirikan divisi internasional, “The Voice of Indonesia”, untuk mentrasnsmisi gelombang pendek bulletin kepada audiens luar negeri. Saat itu, radio memang memiliki peran vital bagi para pemuda. Para republikan muda menggunakan radio sebagai tujuan propaganda, hingga mendapat julukan yang diremehkan oleh wakil UN Belanda sebagai “republik mikrofon”.

Baca juga: Kiprah Pemuda Solo Kembangkan Radio

Penulis

  • Agil Kurniadi

    Lulusan Sejarah S1 dan S2 Universitas Indonesia ini merupakan penulis yang bergerak di berbagai isu seperti politik, ekonomi, dan sosial-budaya. Beberapa karyanya tercatat dalam konferensi nasional dan internasional. Ia sempat mempresentasikan karyanya di Universiti Malaya, sebuah universitas terbaik di Malaysia, tentang Reevaluasi Pembangunan di Timor Timur.

    Lihat semua pos

Share this post

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Open chat
Hai, ada yang bisa dibantu?