Pada Selasa, 14 Maret 2006, Menteri Luar Negeri Amerika, Condoleezza Rice, yang menjabat saat itu, takjub dengan aktivitas santri Madrasah Al Ma’muriyah yang belajar matematika.
Kala itu, Condy, panggilan akrab Sang menteri, sedang berkunjung ke masjid bersejarah Cikini untuk melihat bagaimana generasi muda islam belajar ilmu pengetahuan. Dikabarkan, dari kunjungan Condy tersebut, Amerika memberi hibah kepada pemerintah RI sebesar 8,5 juta dolar ditambah bantuan dana pendidikan sebesar 157 juta dollar.
Madrasah Al Ma’mur sekitar Masjid tersebut yang dikunjungi Condy terkait erat dengan sejarah bangunan Masjidnya yang terletak di lokasi strategis di kawasan Cikini.
Bangunan bercat dominan putih dan hijau itu berdiri di Jalan Raden Saleh Raya Nomor 30, Cikini, Menteng, Jakarta Pusat. Lokasinya berada di samping aliran Ciliwung di pinggir jembatan Raden Saleh.
Masjid Cikini—demikian yang dikenal publik—bermula dari maestro lukis Sjarif Boestaman—dikenal bernama Raden Saleh—dan masyarakat sekitar rumahnya membangun sebuah Surau sederhana yang terbuat dari kayu dan bilik bambu di samping rumahnya.
Menurut data yang dikeluarkan Yayasan Al Makmur, pembangunan ini terjadi pada tahun 1860.
Mengutip majalah Historia, Raden Saleh mendapat lahan seluas 10 hektar di Cikini dari kekayaan istrinya yang orang Belanda, Constancia von Mansfeldt. Kekayaan istrinya ini tidak main-main.
Constancia mendapat warisan dari almarhum suami sebelumnya berupa perkebunan terbesar dan terkaya di Jawa, lebih dari delapan ribu hektar tanah pertanian dengan irigasi yang baik digarap oleh sekitar enam ribu orang. Belum lagi usaha pabrik batiknya, toko kosmetik dan toko pandai emas yang kesemuanya itu mempekerjakan ratusan pria dan wanita.
Maka, tak heran jika Raden Saleh dapat membangun sebuah rumah besar di lahannya itu pada 1857/1858, lengkap dengan area kebun binatangnya.
Di antara ruang kosong dari lahan seluas itulah, Raden Saleh mewakafkan tanahnya untuk tempat peribadatan bagi kaum muslimin.
Raden Saleh kemudian menjual sebagian lahannya tersebut kepada tuan tanah Arab bermarga Alatas. Semenjak itu, area tersebut dikenal dengan nama Alatas Land.
Kemudian, pada 1906, salah satu pewarisnya yang bernama Ismail Alatas menjual lahan itu kepada Koningin Emma Stichting (Yayasan Ratu Emma), sebuah yayasan misionaris kristen milik orang Belanda yang bergerak di bidang pelayanan sosial, seperti mendirikan rumah sakit, selain menyebarkan agama kristen.
Ismail tidak tahu jika lahan masjid merupakan tanah wakaf. Dia mengira seluruh lahan di Alatas Land merupakan milik keluarganya. Setelah berganti kepemilikan lahan, Yayasan Koningin Emma Stichting menuntut agar masjid tidak berada di lokasi yang dikuasainya itu.
Karena didesak terus menerus, akhirnya Masjid dibongkar dan dipindahkan beberapa meter lebih dekat ke sungai Ciliwung dari tempat asalnya dengan cara memanggul materialnya secara bergotong-royong.
Setelah masjid dipindahkan, rupanya sengketa ini tetap berlanjut. Yayasan Emma tetap bersikukuh bahwa seluruh lahan yang dibeli keluarga Alatas merupakan milik mereka. Di atas lahan sengketa itu, mereka juga berniat membangun gereja.
Hal ini tentu membuat marah para warga sekitar yang menjadi jamaah Masjid peninggalan Raden Saleh itu. Sengketa lahan masjid juga terdengar di kalangan Sarekat Islam (SI).
Tokoh SI kala itu, Kyai Haji (KH.) Agus Salim, bahkan sampai turun tangan menangani sengketa kepemilikan. Ia membentuk sebuah panitia pemugaran masjid pada tahun 1923 supaya posisi masjid tidak dianggap marjinal. Masjid itu dibangun ulang secara bergotong royong.
Menurut keterangan ketua pengurus Masjid, Haji Syahlani, disebutkan bahwa warga sekitar Masjid diwajibkan bersedekah beras, lalu dikumpulkan untuk dijual dan dibelikan material bangunan untuk pembangunan masjid.
Kesungguhan masyarakat untuk merenovasi mesjid patut diapresiasi. Kala itu, masyarakat Islam Cikini kebanyakan hanya buruh cuci yang mungkin penghasilannya hanya cukup untuk kebutuhan sehari-hari. Namun, semangat kebersatuan untuk gotong royong dan menghimpun donasi agar Masjid tidak digusur membuat hal yang tampak mustahil menjadi nyata.
Pembangunan masjid tercatat dalam surat kadaster (badan pencatatan tanah yang menentukan pendirian bangunan) tentang rencana pembangunan pada 27 April 1923 (10 Ramadan 1341 Hijriah) dan terlaksana tahun 1924.
Dalam pembangunan, pada bagian depan Masjid ditambahkan lambang SI yang sampai sekarang menjadi ciri khas Masjid tersebut. Lambang SI ini juga menjadi penanda bahwa masjid tersebut merupakan bagian dari sejarah pergerakan nasional, selain juga sebagai simbol agar masjid tidak diganggu oleh pihak kolonial.
Keseluruhan proses pemugaran akhirnya selesai pada tahun 1932 menjadi bentuk Masjid yang sekarang. KH. Agus Salim menjadi orang yang meresmikan Masjid tersebut.
Pada tahun 1970, bangunan Masjid diperluas lagi dengan membuat masjid baru dua lantai tanpa mengubah bangunan asli yang dihubungkan dengan lorong. Sampai saat ini, tidak ada yang berubah dari bangunan masjid tersebut.
Berdasarkan Peraturan Daerah DKI Jakarta No. 9 Tahun 1999, Masjid Al-Makmur termasuk dalam bangunan cagar budaya DKI Jakarta. Saat ini, Yayasan Masjid Al Makmur selaku pengelola juga mendirikan sekolah dan madrasah disamping masjid.
Sebelum tampak seperti sekarang, Masjid Al-Makmur memiliki atap tumpang limasan terpancung tanpa kubah pada puncak atapnya.
Dari Menara Masjid, konon, dulu orang bisa melihat Monas secara langsung karena belum banyak gedung tinggi. Masjid ini memiliki sekitar 7 pintu dengan 10 jendela yang kesemuanya asli memakai kayu jati.
Masjid bersejarah ini pernah menjadi tempat berkumpulnya para tokoh nasional dan alim ulama dari beragam zaman. Mulai dari Raden Saleh, hingga tokoh SI seperti HOS Tjokroaminoto dan KH Agus Salim yang memiliki andil dalam sejarah Masjid ini.
Presiden keempat Indonesia, Abdurahman Wahid alias Gus Dur , dan Presiden Keenam Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), dikabarkan pernah beribadah di sana.
Editor: Agil Kurniadi