Dunia terhenyak ketika pemerintahaan Baathis Suriah dan Presiden Bashar Al Assad tiba tiba terguling pada 8 Desember 2024.

Serangan para jihadis yang berasal dari Idlib sekitar 2 minggu sebelumnya ternyata melebihi perkiraan sehingga menumbangkan rezim yang telah berkuasa selama puluhan tahun.

Para jihadis yang dimotori oleh Hay’at Tahrir As Sham (HTS) pertama-tama mampu merebut Aleppo nyaris tanpa perlawanan.

Para pengamat dunia internasional memprediksi akan terjadi perlawanan sengit terhadap ofensif jihadis ini yang begitu cepat.

Terlebih pasukan pemerintah Assad mampu menekan kekuatan oposisi di segala lini sebelumnya dengan bantuan Iran dan Rusia.

Ternyata yang tak disangka pasukan pemerintah lari begitu saja tanpa melakukan perlawanan yang berarti sehingga pemberontak dapat dengan mulus memasuki Damaskus.

Assad pun tak memiliki pilihan sehingga ia meminta suaka kepada Rusia.

HTS yang sebelumnya bernama Jabhat Nusrah adalah cabang Al Qaeda di Suriah dianggap sebagai kelompok yang radikal karena menghimpun berbagai kelompok jihadis baik dari luar negeri maupun berasal dari Suriah sendiri.

Kelompok ini dipimpin oleh Ahmad Al Sharaa dengan nama samaran Abu Muhammad Al Jaulani.

Pada awalnya, kelompok ini berbaiat terhadap Al Qaeda guna mendirikan Negara Islam versi tafsiran kelompok tersebut, tapi kemudian bergabung dengan beberapa faksi lain yang lebih moderat dan membentuk Hay’at Tahrir As Sham.

Al Jaulani pun kemudian memutuskan hubungan dengan Al Qaeda guna memoles citranya di dunia internasional agar dianggap lebih moderat.

Bahkan di masa mudanya Al Jaulani pernah ikut memerangi tentara AS di Irak dan kemudian dijebloskan ke penjara setelah ditangkap.

Kelompok ini bermarkas di Idlib dan merupakan salah satu kelompok yang dianggap paling tangguh dalam memberikan perlawanan terhadap rezim Assad.

Disinyalir Turki juga dekat dengan kelompok perlawanan satu ini sehingga ikut mengerahkan tentara ke provinsi tersebut ketika HTS terancam oleh gempuran dan serangan rezim Assad bersama konco-konconya.

Dengan jatuhnya Damaskus ke tangan pemberontak, maka berakhirlah kekuasaan rezim Baath dan dinasti Assad selama puluhan tahun.

Kelompok pemberontak bisa dengan leluasa memasuki kota tersebut tanpa perlawanan berarti dari pasukan pemerintah yang terlebih dahulu meletakkan senjata seolah-olah pasrah saja terhadap gerak maju pasukan pemberontak.

Cepatnya pergerakan pemberontak ini tidak diantisipasi oleh kekuatan rezim Assad yang menganggap kekuatan perlawanan hanya sebagai hama yang bisa diberantas.

Dalam semalam, bendera revolusi berkibar menggantikan bendera lama di ibukota.

Kelompok-kelompok perlawanan di luar HTS pun kemudian mulai menggabungkan diri ke dalam pemerintahan baru yang didirikan HTS.

Namun, masih ada satu kekuatan besar lainnya yang tidak diajak ikut serta dalam pemerintahan baru pasca revolusi ini.

Faksi tersebut adalah Pasukan Demokratik Suriah atau Syrian Democratic Forces (SDF) yang didominasi oleh Kurdi dan beraliran sosialis,

Kelompok ini berhasil menciptakan daerah otonomi sendiri di wilayah timur laut Suriah yang kaya akan minyak dan gas.

Dalam perjalanannya, kelompok ini menjadi mitra penting Amerika Serikat dalam melawan ISIS di Suriah.

Pada saat itu, dengan bantuan AS, ibukota ISIS di Raqqa berhasil direbut kembali dan kehadiran ISIS di Suriah berhasil dibasmi dengan pengorbanan yang cukup besar.

AS pula banyak memberikan andil dalam berpijaknya SDF di wilayah sebelah timur sungai Eufrat.

Bantuan persenjataan yang diberikan mampu memperkuat posisi kelompok tersebut di sana.

Di lain pihak, SDF dianggap sebagai ancaman oleh Turki yang menganggap terbentuknya wilayah otonom di Suriah timur laut akan memicu adanya pergolakan di wilayah Kurdi Turki.

Bahkan, SDF akan memantik semangat kemerdekaan di antara orang-orang Kurdi di negara tersebut.

Belum terpecahkannya masalah Kurdi di Suriah ini dikhawatirkan akan menimbulkan konflik baru di Negara yang sudah bergolak selama satu dekade ini.

Kekhawatiran itu mulai terasa dengan adanya gesekan antara Tentara Nasional Suriah atau Syrian National Army (SNA) yang disokong Turki dengan SDF.

Kehadiran AS dengan pangkalannya di wilayah Kurdi Suriah merupakan berkah bagi kelompok SDF sehingga membuat Turki dan sekutunya enggan menyerang langsung.

Terpilihnya Ahmad Al Sharaa sebagai presiden transisi yang diakui pihak internasional ternyata belum mampu meredakan ketegangan di Suriah.

Hal ini terbukti dari masih adanya bentrokan dengan sisa-sisa rezim Assad dan juga pembunuhan-pembunuhan yang tidak terkendali terhadap orang-orang yang terafilisi dengan rezim lama.

SDF pun tidak menerima Al Sharaa sebagai presiden baru Suriah karena dianggap sebagai bagian dari kelompok radikal.

Kini dengan rencana Trump menarik pasukan dari Suriah dikhawatirkan terjadi perang Suriah jilid II dengan sokongan Turki terhadap pemerintahan baru untuk segera mengambil alih daerah otonom di Suriah timur laut.

Akankah perang besar kembali terjadi di Suriah antara kedua faksi yang besar ini.

Semoga pihak-pihak yang berkonflik bisa menyelesaikan masalah ini melalui konsensus agar darah tidak lagi tertumpah di negeri yang kaya akan peradaban ini.

Sudah cukup setengah juta nyawa melayang dalam revolusi yang cukup berdarah ini sebagai pengingat akan kelamnya sejarah dalam perjuangan melawan penindasan.

Share this post

Open chat
Hai, ada yang bisa dibantu?