Mengapa Bahasa Jawa dan Sunda berbeda walaupun sama-sama di Pulau Jawa? Pertanyaan ini menjadi menarik untuk disorot bahwa keduanya berasal dari satu pulau yang sama, namun masing-masing memiliki perbedaan yang cukup jelas.

Suku Jawa dan Sunda diketahui sebagai dua suku terbanyak di Indonesia. Dalam survey penduduk Badan Pusat Statistik tahun 2010, jumlah populasi Jawa dan Sunda merupakan suku dengan jumlah terbanyak pertama dan kedua di Indonesia. Suku Jawa berjumlah 95,2 juta jiwa yang bisa dikatakan berkisar 40,22 persen dari total jumlah penduduk Indonesia. Sementara, Suku Sunda berjumlah 36,7 juta jiwa. Atau setara 15,5 persen dari total penduduk Indonesia.

Baik Bahasa Jawa maupun Bahasa Sunda, keduanya merupakan cabang bahasa Austronesia dari subkelompok Melayu-Polinesia. Meski keduanya merupakan dua suku terbesar di Indonesia dan berada dalam satu pulau yang sama, keduanya tetap memiliki perbedaan tersendiri dari bermacam hal, termasuk bahasa.

Bahasa Jawa mencerminkan kebudayaan yang tinggi sejak berabad-abad lalu, sekaligus menjadi bahasa dengan jumlah penutur terbesar se-Indonesia. Pada umumnya, bahasa ini digunakan penduduk suku Jawa di Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Jawa Timur.

Bahasa Jawa juga digunakan di beberapa daerah lain seperti di Banten, spesifiknya Kota Serang, kabupaten Serang, dan Kota Cilegon. Kemudian, digunakan juga di Kabupaten Tangerang, Jawa Barat, khususnya pantai utara yang terbentang dari pesisir utara Karawang, Subang, Indramayu, Kota Cirebon, dan Kabupaten Cirebon.

Jika ditinjau dari kriteria tingkatannya saja, terdapat dua Bahasa Jawa: ngoko dan krama. Bahasa Jawa memiliki dialek yang dapat digolongkan menjadi tiga berdasarkan persebarannya: dialek barat, dialek tengah, dan dialek timur.

Bahasa Jawa menjadi representasi budaya Jawa dengan ciri khas Jawa. Bahasa Jawa berkembang sebagai identitas dirinya dengan cara mempertahankan nilai-nilai luhur di dalamnya. Bahasa Jawa menyiratkan budi pekerti luhur, atau cerminan dari tata krama. Bahasa Jawa juga memiliki aksara sendiri, yakni aksara Jawa, dialek berbeda di tiap daerah, serta unggah ungguh bahasa.

Dengan kata lain, bahasa Jawa tidak bisa terlepas dari kebudayaan Jawa. Jadi ketika seseorang mengucapkan bahasa Jawa, ia juga harus memperhatikan dan melihat keadaan atas sosok yang diajak berbicara atau sedang dibicarakan menurut usia maupun status sosialnya. Apakah ia teman biasa, lebih tua, atau orang yang dihormati, Bahasa Jawa memberikan suatu arahan bagi seseorang untuk menggunakan bahasa yang tepat.

Sementara, Bahasa Sunda menjadi bahasa dengan penutur terbanyak kedua di Indonesia. Dalam sejarah kebudayaan, bahasa ini dituturkan  di Provinsi Banten, khususnya di bagian  selatan  provinsi, kemudian di sebagian besar wilayah Jawa Barat, lalu meluas hingga batas Kali Pamali (Cipamali) di wilayah Brebes, Jawa Tengah (Prasetiyo, 2011).

Bahasa Sunda juga memiliki tingkat tutur yang mencakup aturan penggunaan ragam bahasa berdasarkan tingkat keakraban antara pembicara dan lawan bicara. Jika pada Bahasa Jawa Namanya unggah-ungguh, di Sunda dinamaka undak-usuk, atau tata krama bahasa dalam terjemahan Bahasa Indonesia.

Menurut ragam bahasa, undak-usuk Bahasa Sunda terbagi menjadi Basa Loma, Basa Lemes, Basa Kasar. Pada Basa Loma, seseorang berbicara kepada orang seumuran, teman akrab, atau orang yang usianya di bawah. Basa loma ini bersifat sedang, tidak terlalu kasar dan tidak terlalu halus. Pada Basa Lemes, seseorang berbicara dengan orang yang dihormati, seperti kepada orang yang lebih tua atau sudah sepuh. Sementara Basa Kasar, bahasanya digunakan ketika seseorang sedang marah.

Bahasa Sunda juga memiliki dialek-dialek sama seperti Bahasa Jawa. Terdapat enam dialek yang berbeda, antara lain dialek barat, dialek utara, dialek selatan, dialek tengah timur, dialek timur laut, dan dialek tenggara.

Perbedaan dan Sejarah

Dari berbagai sisi, banyak perbedaan yang dimiliki antara Bahasa Jawa dan Sunda. Secara kosakata penerjemahan saja, Bahasa Jawa dan Sunda memiliki banyak perbedaan. Seperti pada kata “air”, Bahasa Jawa menyebutnya “Banyu”, tetapi Bahasa Sunda menyebut “Cai.” Sebutan “saya”, Bahasa Jawa menyebutnya “Aku”, sementara Bahasa Sunda menyebutnya “Urang, kula”. Sebutan “baik”, Bahasa Jawa menyebut “apik”, Bahasa Sunda menyebut “alus”.

Masih banyak lagi perbedaannya jika dilihat dari sisi kosakata. Secara fonologi pun, Bahasa Jawa memiliki 6-8 fonem vokal, sedangkan Bahasa Sunda memiliki 7 fonem vocal. Sesungguhnya, kedua bahasa ini saling berkerabat, namun faktor historis menyebabkan terjadi perbedaan terhadap keduanya.

Jika kedua bahasa tersebut dilihat dari asal usul sukunya, maka terjadi perbedaan historis yang jelas. Peranan bahasa Jawa dan Sunda ini tidak terlepas dari pembentukan/pemisahan bahasa di nusantara yang berlangsung kurang lebih 5.000 tahun lalu.

Menurut pembagian Dyen pada 1965, sesuai perhitungan ilmuwan Josef Glinka, Bahasa Jawa dan Sunda masih dalam satu bahasa, yakni Bahasa Jawa. Bahasa Jawa terpisah dari rumpun Malayic Hesion, suatu bagian dari rumpun Austronesia,  sekitar 2246 tahun lalu.

Nah, Bahasa Jawa dan Bahasa Sunda benar-benar terpisah satu sama lain kurang lebih 2168 tahun lalu. Meski demikian, tampaknya Suku Sunda berada di bawah bayang-bayang Suku Jawa secara historis.

Kata Jawa sendiri berasal dari kata Yava dalam bahasa Sanskrit. Artinya, jelai/tanaman padi-padian. Hal ini merujuk kepada nama pulau Yavadwipa yang kini disebut Pulau Jawa. Pusat peradaban suku-suku Jawa ini berada di gunung-gunung aktif yang subur.

Sementara, Sunda berasal dari kata Sund (Sanskrit) yang berarti bercahaya. Hal ini merujuk kepada karakter kulit suku Sunda yang sangat putih daripada pendatang dari Chola, India, maupun suku tetangga, orang Jawa. Hal ini bisa terjadi karena rata-rata orang Sunda tinggal di daerah yang tinggi. Pusat peradabannya di dataran tinggi sehingga warna kulitnya lebih terang.

Tampaknya, dalam sudut pandang sejarah, perbedaan bahasa disebabkan oleh faktor politik juga, mengingat Suku Sunda dan Jawa memiliki latar belakang dikuasai kerajaan yang berbeda-beda. Latar belakang ini yang akan mempengaruhi perbedaan bahasa itu secara tidak langsung.

Secara historis, Suku Jawa tampaknya lebih dominan daripada Suku Sunda. Menurut Sejarawan Bernard Vlekke, Jawa Barat yang menjadi kediaman Suku Sunda secara umum adalah daerah terbelakang di Jawa hingga abad 11. Pada era itu, kerajaan-kerajaan besar bangkit di Jawa Tengah dan Jawa Timur, tetapi sedikit yang berubah di wilayah Suku Sunda. Raja-raja Sunda juga banyak berada di bawah kekuasan raja-raja Jawa.

Hanya Kerajaan Pajajaran yang cukup memiliki nama dan dianggap sebagai Kerajaan Sunda tertua. Itu pun dikalahkan oleh Kerajaan Majapahit pada Perang Bubat.

Perang Bubat adalah perang antara Pasukan Majapahit versus Sunda karena gagalnya pernikahan Raja Hayam Wuruk dan Putri Sunda lantaran ketidaksepahaman perjanjian. Tentara Sunda takluk dikalahkan oleh pasukan Majapahit. Hal ini mengakibatkan terjadi permusuhan antara Sunda dan Jawa yang berangsur selama bertahun-tahun.

Bahkan, peristiwa Perang Bubat ini melahirkan mitos yang berlangsung hingga hari ini tentang perjodohan antara orang Jawa dan Sunda. Mitosnya adalah jika orang Jawa menikah dengan orang Sunda, maka hubungan perjodohan itu pasti tidak baik, bahkan berakhir dengan perceraian. Sebagian masyarakat Jawa dan Sunda percaya mitos ini, sebagian lagi tidak.

Ketika masa Islamisasi berlangsung, figure-figur Jawa tetap memainkan peran penting terhadap Sunda. Raja Hindu Pajajaran yang bernama Siliwangi digulingkan oleh komplotan antara kelompok Muslim Banten, Cirebon, dan Demak.

Jatuhnya Siliwangi mengakibatkan Islam mengambil alih sebagian besar wilayah Jawa Barat. Kesultanan Demak dari Jawa Timur lah yang saat itu memiliki peran penting.

Kesultanan Demak sendiri mengakui bahwa mereka merupakan penerus dari Majapahit, Kerajaan Jawa. Raden Fatah, Sultan pertama Demak, adalah keturunan Majapahit, meskipun ada campuran Tionghoa. Negara ini sempat memperluas wilayahnya hingga Jawa Barat.

Kemudian, Sunan Gunung Jati, seorang Pangeran Jawa, mengirim putranya Hasanudin dari Cirebon untuk mempertobatkan orang-orang Sunda. Sunan Gunung Jati menjadi Sultan Banten pertama. Ia mengontrol wilayah Banten dan Sunda Kelapa (kini Jakarta), lalu menguasai Jawa Barat bersama Demak.

Banten dan Cirebon kala itu mendapatkan pengaruh dari budaya Jawa. Meski di Cirebon terdapat Bahasa Sunda, bahasa tersebut sudah merupakan campuran antara Jawa dan Sunda. Sementara di Banten, bahasanya justru berupa Bahasa Jawa Banten. Itu terjadi karena keberhasilan tantara Demak yang merebut pelabuhan Banten dari Pajajaran.

Jadi, pada umumnya Jawa lebih didominasi kerajaan/kesultanan besar, sedangkan Sunda didominasi kerajaan kecil. Hal ini yang menyebabkan Sunda tampak berada di dalam bayang-bayang Jawa. Keadaan ini juga memberikan sebuah perbedaan gambaran karakteristik orang-orang Jawa dan Sunda.

Struktur masyarakat Jawa lebih feudal dibanding Sunda. Budaya keraton dan feodalisme di wilayah timur Jawa jauh lebih kental dibanding di Barat. Di keraton-keraton seperti Yogya, masih kental sekali unsur feodalisme yang ditunjukkan hingga saat ini.

Stereotip

Faktor historis berupa latar belakang kerajaan dan kesultanan yang besar mengakibatkan masyarakat Jawa memiliki suatu stereotip karakter yang tangguh. Orang Jawa terkenal dengan pekerja keras, ambisius, dan serius.

Wajar saja demikian, karena mereka memiliki faktor historis berupa sejarah yang besar. Lihat saja seperti Candi Borobudur, Prambanan, Kompleks Dieng, dan situs Trowulan. Bahkan, Kerajaan Majapahit pernah menjajaki ekspansi ke wilayah di luar nusantara. Hal demikian menunjukkan sejak masa dahulu, orang Jawa memang pekerja keras dan ambisius.

Tetapi di sisi lain, orang Jawa juga memiliki stereotip berupa sisi negative, yakni bermuka dua. Maksudnya, lain di mulut, lain di hati dan tindakan. Faktor politik dalam  sejarah orang-orang Jawa yang berkaitan dengan kerajaan-kerajaan besar mengkibatkan mereka menjadi demikian secara tidak langsung.

Orang Jawa pernah memiliki sejarah seperti Ken Arok yang memiliki siasat tusuk menusuk dari belakang untuk mencapai tahta kekuasaan. Sifat bermuka dua juga tidak bisa dinafikkan lantaran kentalnya budaya feudal pada orang-orang Jawa yang sudah berlangsung sejak masa dahulu yang pada akhirnya bertujuan untuk mencapai kekuasaan.

Patung Ken Arok
(Sumber: wikipedia)

Hal-hal seperti itulah yang juga mengakibatkan Bahasa Jawa itu lebih kental unggah-ungguhnya dibanding Sunda. Secara bahasa, orang Jawa tampaknya memang lebih berhati-hati dalam berbicara ketika berhadapan dengan lawan bicaranya. Sebabnya adalah efek feodalisme mereka yang muncul secara tidak sadar.

Berbeda dengan orang Sunda, mereka dikenal lebih santai, humoris, dan easy going. Mereka juga lebih egaliter. Hal demikian terjadi karena memang latar belakangnya orang Sunda tidak memiliki kerajaan-kerajaan besar seperti orang-orang Jawa.

Latar belakang sejarah ini bisa menjadi sudut pandang yang memberikan perbedaan ini. Dalam catatan sejarah, hanya Pajajaran yang merupakan kerajaan cukup besar, tetapi itu pun kalah perang dengan Majapahit. Kerajaan-kerajaan mereka juga tidak seekspansionis Jawa yang ke banyak wilayah. Bahkan, wilayah Sunda banyak dikuasai orang Jawa.

Hal seperti ini juga yang mengakibatkan terbentuknya karakteristik orang Sunda yang kurang punya keinginan untuk merantau jika tidak dipaksa, berbeda dengan orang Jawa yang suka merantau ke manapun.

Faktor historis tersebut juga akhirnya menstereotipkan orang Sunda yang pada umumnya dianggap sebagai pemalas, kurang ambisius, serta hanya mengandalkan wajah dan penampilan.

Sehingga, mereka seringkali berada di bawah pengaruh orang Jawa yang beberapa langkah lebih maju. Maka dalam logat berbahasa, Bahasa Sunda tampak lebih luwes dan egaliter dibanding Bahasa Jawa.

Begitulah kiranya kenapa Bahasa Jawa berbeda dengan Bahasa Sunda, meskipun ada dalam satu pulau yang sama. Karena, ada perbedaan historis yang signifikan dalam perkembangan masyarakat dan kedua budaya tersebut yang mengakibatkan diferensi budaya dan bahasa atas Jawa dan Sunda.

Jadi, meskipun satu pulau, bukan berarti bahasa kita selalu sama. Pasti akan ada perbedaan dari beberapa hal karena adanya faktor-faktor yang berbeda dalam perkembangan masyarakatnya.

Penulis

  • Agil Kurniadi

    Lulusan Sejarah S1 dan S2 Universitas Indonesia ini merupakan penulis yang bergerak di berbagai isu seperti politik, ekonomi, dan sosial-budaya. Beberapa karyanya tercatat dalam konferensi nasional dan internasional. Ia sempat mempresentasikan karyanya di Universiti Malaya, sebuah universitas terbaik di Malaysia, tentang Reevaluasi Pembangunan di Timor Timur.

    Lihat semua pos

Share this post

1 comment

  1. Menurut saya ada sedikit kesalah pahaman dalam penyampaian anda. 1. Perang bubat bukanlah perang, namun itu adalah sebuah tragedi kotor yang dibuat oleh petinggi Majapahit karena jika bukan karena tragedi kotor itu, menurut saya Pajajaran masih kuat melawan Majapahit terbukti dari perlunya usaha yang keras dari Majapahit untuk menguasai Pajajaran namun selalu gagal; 2. Stereotip mengenai suku sunda yang pemalas, lain sebagainya itu disebabkan karena sudah mencukupinya sumber daya di wilayah Sunda sehingga dirasa tidak memerlukan ekspansi ke wilayah lain, namun tidak bisa disebut pemalas karena nyatanya jika suku sunda pemalas tentu cukup 3-5 tahun saja Majapahit menguasai Pajajaran misalnya.
    Terimakasih

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Open chat
Hai, ada yang bisa dibantu?