Ada satu pandangan Sjafruddin Prawiranegara yang penting untuk diperhatikan. Ketika menjabat Gubernur Bank Indonesia (BI) pada tahun 1953, ia berpendapat bank sentral diberi kedudukan otonom terhadap pemerintah.

Baca juga: Sjafruddin dan Bank Indonesia: Menata Keuangan Awal Rintisan

Menurutnya, pemerintah sebaiknya tidak diberi kekuasaan untuk mengemudikan bank sirkulasi supaya tidak tergoda melakukan hal-hal di luar batas melalui penciptaan uang. Akan tetapi, pemerintah punya hak untuk mengawasi BI sesuai ketentuan masing-masing.

Ide itu tidak digubris oleh pemerintah saat itu. BI tetap berada di bawah intervensi pemerintah dalam melaksanakan pembangunan.

Sebagai gambaran, sesuai dengan UU No. 11 Tahun 1953, selain menjaga stabilitas nilai rupiah, sirkulasi rupiah, pengawasan dan pembinaan terhadap bank-bank, dan menjadi bank devisa, tugas BI juga mewarisi fungsi dan peran DJB sebagai bank umum penghimpun dan pengelola dana publik.

Tampaknya, BI menjadi seperti bancakan pemerintah. Pada 1962, 1964, dan 1965, terjadi reorganisasi BI yang mengintegrasikan antara BI dengan bank-bank pemerintah lainnya.

Hal ini dilakukan sebagai tindak lanjut dari doktrin “bank berdjoang” ala Orde Lama untuk membantu langsung program-program pemerintah dan menangani masalah-masalah ekonomi.

Selain tugas umum, BI pada masa Orde Lama bahkan mempunyai tugas khusus, misalnya membiayai proyek-proyek mandataris di luar APBN dan bersifat politis, seperti pembangunan Monumen Nasional, persiapan penyelenggaraan Conefo, dan pendirian Masjid Istiqlal, pendirian Toserba Sarinah, dan proyek perhotelan banteng.

Perubahan aturan tentang bank sentral terus terjadi melalui UU Nomor 14 Tahun 1967 tentang perbankan dan UU Nomor 13 tahun 1968 tentang Bank Indonesia. Proses ini merupakan suatu proses menuju peran sebagai bank sentral murni dan otoritas moneter yang otonom sebagai mitra kerja pemerintah yang harus dilalui BI selama 15 tahun.

Baca juga: Potret Museum Bank Indonesia

Akan tetapi, tetap saja Orde Baru menempatkan peran BI sebagai “agen pembangunan” dan menjadi bagian dari pemerintah.

Independensi BI bisa terwujud ketika masa reformasi melalui UU No, 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia. Dalam undang-undang tersebut, BI bertugas untuk memelihara kestabilan nilai rupiah dan menghapuskan tujuannya sebagai agen pembangunan.

Isu ini sudah berlangsung dua tahun sebelumnya, ketika International Monetery Fund (IMF) menyarankan untuk melepas BI. Hal ini menjadi suatu hal yang sangat kontroversial. Sebab, saran tersebut justru membuat Indonesia terkena krisis moneter yang berujung menyebabkan Soeharto “digulingkan” rakyat pada tahun 1998.

Gagasan independensi BI yang dilontarkan Sjafruddin sekitar 4 dasawarsa lalu tampaknya baru terealisasi pada masa reformasi. Namun, gagasan Sjafruddin yang menurutnya baik ternyata menimbulkan prediksi yang berbeda beberapa dekade kemudian.

Gagasan itu tidak serta merta membuat ekonomi Indonesia jadi lebih baik, melainkan  mengarahkan Indonesia menuju jurang kehancuran. Sesuatu yang mungkin di luar ekspektasi pada zamannya.

Penulis

  • Agil Kurniadi

    Lulusan Sejarah S1 dan S2 Universitas Indonesia ini merupakan penulis yang bergerak di berbagai isu seperti politik, ekonomi, dan sosial-budaya. Beberapa karyanya tercatat dalam konferensi nasional dan internasional. Ia sempat mempresentasikan karyanya di Universiti Malaya, sebuah universitas terbaik di Malaysia, tentang Reevaluasi Pembangunan di Timor Timur.

    Lihat semua pos

Share this post

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Open chat
Hai, ada yang bisa dibantu?