Bumi semakin penuh.

Tepat pada Selasa, 15 November 2022, penduduk Bumi diperkirakan mencapai 8 miliar jiwa. Pencapaian ini menjadi dilema bagi kita semua, sebuah anugrah atau musibah.

Keadaan ini mungkin mengejutkan bagi sebagian orang. Sebab, peningkatan jumlah penduduk bumi bertambah berkali-kali lipat. Sejarah mencatat peningkatan jumlah penduduk itu sejak dua abad lalu.

Menurut laporan Kompas, tercatat bahwa jumlah penduduk Bumi mencapai 1 miliar jiwa pada tahun 1804. Sejak saat itu, peningkatan penduduk sejumlah miliaran jiwa mulai terjadi.

Peningkatan jumlah penduduk Bumi menjadi 2 miliar jiwa pada 1927; lalu 3 miliar jiwa pada 1960, dan 4 miliar jiwa pada 1974. Peningkatan jumlah penduduk Bumi berikutnya menjadi 5 miliar jiwa pada 1987; 6 miliar jiwa pada 1998; dan 7 miliar jiwa pada 1998.

Percepatan peningkatan penduduk terjadi sejak awal abad 20. Sejak 1927 hingga 1960, peningkatan penduduk menjadi 3 miliar jiwa  membutuhkan waktu 33 tahun. Setelah itu, waktu tempuh untuk mencapai 1 miliar semakin singkat. Untuk mencapai jumlah penduduk sebanyak 4 miliar jiwa, hanya butuh waktu 14 tahun, setengah dari kebutuhan waktu sebelumnya.

Begitu seterusnya, hanya butuh waktu belasan tahun. Untuk mencapai jumlah penduduk sebanyak 8 miliar jiwa saja, setidaknya Bumi hanya butuh waktu 2 abad.

Prediksi tiga dasawarsa selanjutnya bahkan menyebut penduduk Bumi mencapai 10 miliar, tepatnya pada tahun 2058. Mungkin saja, jumlah itu bisa lebih banyak lagi.

ilustrasi kepadatan penduduk Bumi

Pesimis

Seorang ilmuwan yang hidup pada akhir abad 18, Thomas Robert Malthus, memiliki pandangan pesimis.

Dalam laporan Teori Penduduk milik Kemdikbud, menurut Malthus, jumlah penduduk meningkat berdasarkan deret ukur (2, 4, 16, 32, …), sedangkan bahan pangan hanya bertambah berdasar deret hitung (2,3,4,5,6, …).

Intinya, ia menyimpulkan pertumbuhan penduduk mennyebabkan kemiskinan dan peningkatan produksi pangan hanya akan memperbanyak orang miskin. Maka, untuk lepas dari kemiskinan, upayanya adalah mencegah kehamilan. Jika anak adalah tanggung jawab tiap individu, mereka akan lebih berhati-hati dalam menentukan kapan menikah dan berkeluarga.

Meski menilik perdebatan, anggapan pesimis Malthus boleh jadi kenyataan. Bertambahnya jumlah penduduk berdampak pada bertambahnya kebutuhan pangan, sandang, dan papan. Sehingga, memberikan dampak kepada manusia untuk memenuhi kebutuhan tersebut.

Produksi makanan dan pakaian, berikut pula tempat tinggal mengakibatkan terjadi berbagai macam kegiatan, mulai dari pengembangan produksi pangan, deforestasi, pembukaan lahan, hingga pengembangan teknologi. Kebutuhan pangan jauh lebih banyak, tetapi produksi boleh jadi tidak sebanding dengan kebutuhannya.

Belum lagi, perkembangan teknologi yang menghasilkan industrialisasi beragam produksi barang. Munculnya teknologi transportasi seperti mobil, motor, kapal laut dan udara menyebabkan mobilitas manusia semakin meningkat. Orang-orang yang tidak mampu bersaing dan beradaptasi dengan zaman akan tersingkir dan terjebak dalam kemiskinan.

Tetapi tak hanya kemiskinan, efek samping juga berupa karbonisasi dan pemanasan global. Sejak revolusi industri dimulai akhir abad 18 hingga kini, suhu permukaan Bumi bahkan naik hampir 1,5 derajat celcius. Dampak ini berupa bencana yang mengancam eksistensi manusia (Kompas, Menghidupi 8 Miliar Manusia, 21 November 2022).

Karbon

Meledaknya 8 miliar penduduk Bumi, salah satunya, memberikan efek besar terhadap emisi karbon yang berdampak pada pemanasan global. Sejarah mencatat emisi karbon dunia sejak tahun 1990 hingga 2020 yang selalu meningkat—menurut riset Kompas, 17 Novermber 2022.

Tahun 1990, tercatat emisi karbon dunia sebesar 22.757,5 juta ton. Tiga dasawarsa kemudian, jumlah emisi karbon dunia menjadi 35.264,1 juta ton, meningkat sebesar 54,95 persen.

Dari total emisi karbon tersebut, ternyata 20 negara maju (G20) menjadi penyumbang dominan. Tahun 2020 saja, negara G20 menyumbang 84 persen dari total emisi karbon dunia, sisanya negara-negara berkembang.

Negara-negara maju memang licik.

Demi kepentingan industri dan ekonomi, mereka melemparkan produksi pabrik di negara-negara berkembang demi efisiensi tenaga kerja, mengingat tenaga kerja di negara-negara berkembang lebih murah.

Lalu, mereka mengeruk keuntungan dari hasil produksi tersebut secara melimpah. Sementara, negara-negara berkembang disalahkan karena menghasilkan emisi karbon dari pabrik-pabrik.

Hal ini juga patut diperhatikan. Sebab, tak semua kesalahan dimiliki negara-negara berkembang. Maka, untuk mengatasi persoalan tersebut, negara-negara maju juga turut berkontribusi besar terhadap hal ini.

Berbenah

Mengatasi kewaspadaan itu, manusia perlu berbenah. Keterlibatan negara-negara, terutama negara maju, dalam forum-forum dunia perlu digalakkan. Forum tersebut tidak boleh hanya sekadar pembicaraan di atas meja belaka, tetapi harus ada langkah nyata dalam mengatasi salah satu masalah ledakan penduduk Bumi ini.

Belakangan, forum dunia yang sedang memperhatikan isu ini adalah forum G20 di mana Indonesia juga menjadi bagian dari kontestasi tersebut. Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) yang  diselenggarakan pada 15-16 November 2022 di Nusa Dua, Badung, Provinsi Bali, itu menghasilkan beberapa poin terkait energi sebagai solusi atas emisi karbon.

Pertama, pemimpin G20 sepakat untuk mempercepat dan memastikan transisi energi yang berkelanjutan, adil, terjangkau, dan investasi inklusif. Kedua, menyepakati Bali Compact dan Peta Jalan Transisi Energi Bali sebagai panduan mencari solusi demi stabilitas pasar energi, transparansi, dan keterjangkauan.

Semoga upaya tersebut menghasilkan solusi yang bagus.

Share this post

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Open chat
Hai, ada yang bisa dibantu?