Sugeng bersama teman-temannya tak henti-hentinya memangkas pohon dan ilalang yang setinggi dua meter itu. Mereka disuruh petugas untuk kerja wajib di Pulau Buru, Kepulauan Maluku, sejak ditangkap pada peristiwa ’65.
Baca juga: Segitiga Politik Kudeta 1965
Para tahanan politik (Tapol) itu tampak bekerja keras. Meski jumlah alat pemotongan terbatas, mereka tetap melakukan kerja wajib itu.
Mereka membabat semak-semak, ilalang, dan pohon; kemudian membakarnya. Setelah itu, tanah dipetak-petak beberapa meter dengan batas pematang untuk membuka areal pertanian, serta menghubungkan jalan dari satu tempat ke tempat lain.
Sugeng mengakui, ia bahkan terpaksa mencabuti alang-alang lebat hanya menggunakan tangan. “Sehingga, tangan pada melecet semua,” ungkapnya dalam kajian “Tahanan Politik Orde Baru di Pulau Buru 1969-1979”.
Meski telah bekerja keras, para petugas tetap bertindak tegas. Mereka tak segan melakukan kekerasan jika terjadi ketidakdisiplinan.
Kasto Wirjoredjo, dalam pengakuannya, mengatakan temannya pernah dipukuli sampai bengep lantaran dianggap tak becus dalam mengurus sawah. Padahal, menurutnya, petugas itu lah yang tak mengerti tentang cara kerja bersawah.
Selorohnya, temannya itu bukannya bersedih, malah tertawa sambil mengumpat goblok.
Dalam keadaan sulit, para Tapol itu membuat areal sawah. Mereka menanam padi dan menyemai benih. Setelah itu, mereka mengelola tanaman padi hingga panen.
Para Tapol juga mengelola Saprodi atau sarana produksi pertanian seperti pupuk, obat-obatan, bensin, pelumas, minyak tanah, dan alat-alat penyemprot. Para petugas Buru meminjami Kebutuhan Saprodi tersebut, lalu pembayarannya dituntaskan setelah panen.
Baca juga: Setelah Kudeta 1965: Kisah Tapol di Pulau Buru (Bagian II)