Terjadinya pembantaian etnis Tionghoa di Angke memiliki beberapa sebab-musabab. Semua bermula dari kemenangan Sultan Haji dalam konflik memperebutkan tahta Banten, tapi kemenangan tersebut harus dibayar mahal.

Sementara, seperti yang ditulis sejarah, VOC adalah perusahaan dagang Belanda yang tidak pernah memberikan bantuan secara cuma-cuma bagi yang meminta bantuan kepadanya.

Imbas dari kemenangan Sultan Haji melawan ayahnya mewajibkan Banten untuk membayar biaya perang dan memberikan hak monopoli kepada VOC atas perdagangan di Banten. Pada 1684, Sultan Haji menandatangani 10 pasal perjanjian dengan VOC yang mengikis kekuasaan sultan.

Kemerosotan politik ini berakibat pada kemunduran ekonomi Banten. Akibatnya, banyak warga Tionghoa hijrah ke Angke dan mendirikan pemukiman. Angke sebagai ommenlanden Batavia dianggap lebih menjanjikan ketimbang kota-kota dagang Banten yang telah runtuh.

Konsekuensinya, pemukiman urban Tionghoa-Banten membludak di sekitar luar tembok kota Batavia.

Selain faktor politik Kesultanan Banten, faktor merosotnya sektor industri gula di Batavia turut mempengaruhi tragedi sejarah tersebut.

Sejak 1705, permintaan gula di pasaran Eropa tinggi sehingga menarik orang Tionghoa untuk bekerja di sektor gula. Komoditas gula saat itu menjadi komoditi utama di Batavia.

Seiring waktu, harga gula lambat laun mengalami penurunan karena adanya persaingan harga gula dari Benggala dan Hindia Barat. Akibatnya, banyak pemilik usaha gula, kebanyakan orang Tionghoa, bangkrut.

Kebangkrutan ini memunculkan kemiskinan warga Tionghoa di Angke. Keadaan di sekitaran Ommelanden Batavia benar-benar kritis karena banyaknya pengangguran, terutama di kalangan Tionghoa.

Perpaduan masalah-masalah seperti banyaknya pemukim yang terdiri dari limpahan Banten dan imigran dari luar  daerah; ditambah lagi keadaan ekonomi mayoritas para pemukim Tionghoa yang miskin, membuat Belanda menganggap hal ini sebagai masalah besar.

**

Gubernur Jenderal VOC, Adriaan Valckenier, mencoba untuk menyelesaikan masalah tersebut. Ia mengeluarkan kebijakan surat izin tinggal terhadap para pemukim.

Bagi pemukim yang tidak memiliki surat izin, maka mereka akan dideportasi ke Sri Lanka untuk dipekerjakan sebagai petani kayu manis, atau dikembalikan ke daratan Cina.

Pihak VOC juga memanfaatkan para pedagang Tionghoa yang memiliki pemasukan tinggi setiap bulannya dengan cara menerapkan sistem pembayaran pajak yang bernominal sangat tinggi. Hal itu ditujukan supaya pemasukan mereka cepat bertambah. Kebijakan VOC itu sangat memberatkan para pemukim Tionghoa.

Sementara itu, muncul pula desas-desus yang menyebar di kalangan Tionghoa. Bahwa, mereka yang ditangkap karena tidak memiliki keabsahan izin akan dibawa ke Sri Lanka atau Afrika Selatan, tetapi di tengah perjalanan akan dibunuh dan mayatnya dibuang ke laut. Hal inilah yang membuat para pemukim merespon desas-desus tersebut dengan perlawanan.

Editor: Agil Kurniadi

Share this post

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Open chat
Hai, ada yang bisa dibantu?