Pada tanggal 19 Desember 1948, pasukan Belanda menyerang Indonesia berkekuatan penuh dengan dalih menggunakan aksi polisionil untuk menegakkan keamanan di koloninya. Indonesia yang baru beberapa bulan menandatangani perjanjian tentu belum siap untuk menghadapi.
Dalam sekejap, Yogyakarta yang merupakan ibukota saat itu jatuh ke tangan Belanda. Para pemimpinnya ditangkap dan diasingkan sehingga mendorong terbentuknya pemerintahan darurat di Bukittinggi.
Belanda yang baru lepas dari penjajahan Nazi Jerman di masa perang dunia II sebenarnya tidak memiliki kekuatan militer yang seberapa. Itulah kenapa pihak mereka baru menerjunkan pasukannya secara langsung 2 tahun pasca dibebaskan oleh Sekutu.
Kedaaan ekonomi yang morat marit tidak memungkinkan Belanda memiliki pasukan yang siap dalam melakukan operasi militer. Kebetulan pada saat itu, Amerika sedang gencar memberikan dana rekonstruksi Eropa melalui Marshal Plan.
Jadilah sebagian dana mengalir untuk operasi militer di Indonesia yang dimulai dari serangan di pangkalan udara Maguwo. Dana yang seharusnya dipakai untuk rekonstruksi malah digunakan untuk menunjang operasi mliter.
Belanda yang masih berpikir sebagai “pemilik” Indonesia pada awalnya mengira perlawanan berlangsung singkat. Akan tetapi, ternyata mereka harus menghadapi perlawanan gerilya yang berlarut-larut.
Puncaknya, pada serangan umum 1 Maret 1949, ternyata Yogyakarta berhasil dikuasai oleh TNI selama beberapa saat. Peristiwa ini banyak diliput oleh wartawan dari negeri paman Sam sehingga membuka mata publik Amerika tentang “kelakuan nakal” Belanda terkait penyalahgunaan dana bantuan.
Pada mulanya, memang Amerika tidak terlalu memperhatikan perilaku Belanda, mengingat negara tersebut masih dalam tahap pemulihan ekonomi. Terlebih, Amerika mulai terlibat perang dingin dengan Uni Soviet yang berideologi komunis.
Belanda masih dianggap sebagai pemilik Indonesia karena belum ada pengakuan secara hukum atau de jure terhadap proklamasi kemerdekaan Indonesia. Dengan adanya perubahan opini publik Amerika terhadap kolonialisme, maka Amerika mulai mengubah posisinya terhadap tindakan Belanda di Indonesia.
Belanda dianggap sebagai “anak nakal” dan mulai ditekan untuk berunding guna mengakhiri konflik yang berlarut-larut. Dengan ancaman penarikan Marshal Plan, akhirnya Belanda bersedia maju ke perundingan dan setelah beberapa kali putaran akhirnya mau mengakui kemerdekaan Indonesia.
Pada akhir tahun yang sama, ketika diselenggarakan Konferensi Meja Bundar, akhirnya Indonesia resmi mendapat pengakuan kedaulatan dan Belanda angkat kaki dari negeri tersebut.