Pertempuran di Kepulauan Banda antara Belanda (VOC) dan Inggris (EIC) pecah setelah adanya pembunuhan Komandan VOC, Pieter Willems zoom Verhoef, bersama 40 anak buahnya pada 1609.
Setelah itu, orang-orang Banda lebih ingin berdagang dengan Inggris dibanding Belanda, sehingga Inggris mendapat izin membuat pos dagang di Pulau Run dan Pulau Ai.
Baca juga: Berebut Pala di Kepulauan Banda
Elite Belanda tak terima.
Pada tahun 1614, Direksi Perusahaan VOC, Heeren XVII, menginginkan terealisasinya penaklukkan pulau-pulau Banda, meski berarti menghancurkan masyarakat dan menguras banyak uang. Kekerasan terhadap orang-orang Banda digunakan sebagai strategi (Vincent C. Loth, “Pioneers and Perkeniers: The Banda Islands in The 17th Century”, Cakalele, Vol. 6, 1995)
Perang memperebutkan atas pulau-pulau Banda terjadi pada tahun 1615. Sebanyak 900 tentara Belanda menyerang pos dagang Inggris di Pulau Ai.
Kendati diserang, penaklukkan tak semudah yang dikira. Para tentara Inggris berhasil memukul balik tentara Belanda, lalu membunuh 200 tentara Belanda. Tentara Belanda pun mundur dari barisan pertempuran.
Tetapi, tentara Belanda tak kenal menyerah. Para tentara Belanda menyerang tentara Inggris di Pulau Ai setahun kemudian.
Dan untuk kali ini, perlawanan Inggris berhasil dipatahkan, “di mana kemudian seluruh tentara Inggris dibantai oleh tentara Belanda,” menurut Sejarawan Batara Hutagalung dalam Indonesia Tidak Pernah Dijajah.
Sumber lain menyebutkan, banyak pasukan bertahan terbunuh dan sejumlah 400 orang yang di antaranya wanita dan anak-anak ditenggelamkan saat mencoba menyeberang ke Pulau Run untuk melarikan diri (Vincent C. Loth, op.cit).
Meski Pulau Ai jatuh ke tangan Belanda, bukan berarti Inggris takluk seketika. Orang-orang Banda kemudian masih melanjutkan kegiatan dagangnya dengan Inggris yang salah satunya ada di Pulau Run.
Orang-orang Banda seperti tak berhasrat sama sekali mau berdagang dengan Belanda.