Sembilan puluh empat tahun lamanya Bahasa Indonesia masih eksis hingga hari ini. Rakyat Indonesia masih menggunakan Bahasa Indonesia sebagai suatu bahasa nasional yang menyatukan dan menyeragamkan kita semua. Kehadiran Bahasa Indonesia masih terus bertumbuh, bahkan mengalami dinamika yang luar biasa dalam sejarah Indonesia.
Sejak Sumpah Pemuda tahun 1928, Bahasa Indonesia lahir. Ikrar Sumpah Pemuda mengukuhkan Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan. Bukan berarti mulus, dalam prosesnya pun terjadi perdebatan.
Tokoh pejuang kebangsaan saat itu, Mohammad Yamin dan Mohammad Tabrani, berdebat tentang bahasa ketika Kongres Pemuda I dilaksanakan. Padahal, ihwal satu nusa dan satu bangsa tidak dipermasalahkan.
Yamin menyampaikan dua bahasa yang paling berpeluang untuk dijadikan sebagai bahasa persatuan Indonesia, yakni Jawa dan Melayu. Menurutnya, Bahasa Melayu lebih pantas untuk menjadi bahasa persatuan daripada Bahasa Jawa.
Akan tetapi, Tabrani menentangnya. Baginya, jika nusa dan bangsa yang disepakati adalah Indonesia, maka seharusnya yang dipilih adalah Bahasa Indonesia, bukan Bahasa Melayu. Hal inilah yang membuat Kongres Pemuda I berakhir tanpa putusan. Kebuntuan ini baru terselesaikan pada Kongres pemuda II yang menyepakati Bahasa Indonesia adalah bahasa persatuan.
Sehingga pada akhirnya, muncullah pernyataan pemuda tentang bahasa, “Kami putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.”
**
Selama hampir satu abad, Bahasa Indonesia bertahan dan terus bertumbuh dinamis. Ujian awal justru datang dari tokoh-tokoh pejuang kemerdekaan. Ketika masa kolonial, mereka banyak yang berasal dari pendidikan Belanda. Sehingga, banyak dari mereka yang terpengaruh oleh Bahasa Belanda.
Tak jarang dari mereka yang sering mengungkap pernyataan melalui Bahasa Belanda, meskipun Bahasa Indonesia sudah diikrarkan.
Bahasa adalah identitas. Saat masa kolonial, Bahasa Indonesia dicanangkan sebagai identitas perlawanan atas identitas penjajah, suatu upaya melawan pembaratan milik Kaum Eropa. Kaum Belanda ketar-ketir dengan Gerakan kebangsaan yang melibatkan peran kebudayaan itu lantaran takut hegemoninya tersingkirkan.
Hegemoni itu pun tersingkir jua ketika terjadi pendudukan Jepang berlangsung sejak tahun 1942 hingga 1945. Segala yang berbau barat dimusnahkan. Termasuk Bahasa Belanda, itu pun dilarang Dai Nippon (Kekaisaran Jepang). Tetapi, Dai Nippon memperbolehkan rakyat Indonesia untuk berbahasa Indonesia sebagai bahasa sehari-hari.
Untuk pertama kalinya dalam sejarah Indonesia, Bahasa Indonesia diresmikan sebagai lingua franca oleh kaum penjajah itu. Para pejuang dan rakyat memperoleh kesempatan untuk mengembangkan Bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi.
Bahasa Indonesia turut merdeka ketika negara ini diproklamasikan. Sukarno-Hatta membacakan proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 menggunakan Bahasa Indonesia, lalu bersama elite lainnya meresmikan Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional melalui Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 36. Penggunaan Bahasa Indonesia saat itu masih menggunakan ejaan Van Ophuijsen atau ejaan lama.
Ciri penanda lingual dalam ejaan tersebut antara lain: penggunaan huruf “j” dibaca “y”; penggunaan huruf “oe” dibaca “u”; dan penggunaan tanda diakritik terdiri dari tanda koma (,), ain (‘), dan trema (“).
Dua tahun kemudian, Bahasa Indonesia dikembangkan kembali. Soewandi yang kala itu menjabat sebagai Menteri Pengajaran Indonesia (kini Menteri Pendidikan dan Kebudayaan) mengubah ejaan Van Ophuijsen menjadi ejaan Republik. Seringkali ejaan itu disebut ejaan Soewandi, sesuai dengan nama pencetusnya.
Dalam ejaan ini, terdapat beberapa ciri penanda lingual ejaan Soewandi: penggantian huruf “oe” menjadi “u”; bunyi sental dituli “k”; dan kata ulang boleh ditulis dengan angka “2”. Serta, tidak dibedakan antara penulisan “di” sebagai awalan dan “di” sebagai kata depan.
Selama 20 tahun, ejaan Soewandi bertahan dalam penggunaan Bahasa Indonesia. Model ejaan itu digantikan oleh Ejaan Lembaga Bahasa dan Kesusastraan (LBK) atau biasa disebut Ejaan Baru pada tahun 1967. Lalu, berganti lagi menjadi Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) pada 26 Agustus 1972.
Presiden Suharto memperkuat pemakaian EYD melalui Keputusan Presiden Nomor 57 Tahun 1972. Ejaan ini mengeluarkan banyak edisi tiap beberapa tahun dan bertahan hingga tahun 2015. Baru sejak 2015 hingga, ejaan kembali dikembangkan menjadi Ejaan Bahasa Indonesia (EBI), lalu kembali diganti menjadi EYD edisi kelima.
Terus Bertahan
Hingga kini, Bahasa Indonesia terus bertahan dan masih digunakan rakyat Indonesia. Dinamika perjalanan Bahasa Indonesia tentunya tidak mudah. Sejak awal pengembangan Bahasa Indonesia, keberadaan Bahasa Indonesia digunakan sebagai upaya untuk melawan hegemoni kolonial, utamanya Bahasa Belanda.
Politik Bahasa yang dilancarkan oleh kaum elite Belanda menginginkan Bangsa Indonesia terbagi-bagi dalam sekat-sekat sosial, hierarkis, dan tidak egaliter. Pada masa kolonial, Bahasa Belanda hanya diperuntukkan untuk kaum priyayi saja, tetapi tidak untuk kaum pribumi jelata. Seolah-olah, Bahasa Belanda diciptakan sebagai bahasa yang spesial, hanya untuk kalangan elite atas. Kaum pribumi jelata hanya menggunakan bahasa lokal.
Bahasa Indonesia lahir untuk menentang kolonialisme bahasa Belanda. Bahasa ini diciptakan seegaliter mungkin agar semua bisa digunakan. Dengan adanya Bahasa Indonesia, ia menjadi pemersatu atas semua kalangan, dari yang kaya sampai yang miskin, dari wilayah paling barat hingga paling timur Indonesia.
Sehingga, semua kaum dari bermacam-macam kalangan dan kelas manapun bisa menggunakan Bahasa Indonesia untuk kepentingan yang sama, sebagai alat komunikasi dan identitas suatu bangsa. Tanpa sadar, kita semua dipersatukan oleh Bahasa Indonesia.
Bahkan, Bahasa Indonesia pun bisa hidup berdampingan dengan bahasa lokal di Indonesia. Sebagai informasi, terdapat 718 bahasa lokal di seluruh Indonesia. Bahasa Indonesia bisa menyesuaikan dengan ragam bahasa lokal tersebut.
Dalam praktiknya, Bahasa Indonesia dijadikan sebagai mata pelajaran di sekolah-sekolah dan menjadi bahasa formal dalam sehari-hari. Sementara, bahasa lokal bisa tetap hidup karena menjadi bahasa informal yang digunakan sehari-hari. Kedua tipe bahasa ini berjalan harmonis dari waktu ke waktu.
Tantangan Bahasa Indonesia justru datang dari bahasa asing. Meski sudah merdeka, bukan berarti bangsa ini bisa lepas secara utuh dari penjajahan. Kehadiran globalisasi, mau tak mau, membuat orang-orang juga turut belajar bahasa asing guna menyesuaikan diri dengan dunia internasional. Meskipun begitu, Bahasa Indonesia juga turut menyerap sebagian bahasa asing yang perlu.
Masalah muncul ketika bahasa asing itu lebih menghegemoni Bahasa Indonesia, termasuk juga bahasa lokal. Fakta itu terjadi di sekitar kita.
Sebagai contoh, muncul fenomena Bahasa Jaksel (Jakarta Selatan) di wilayah Jakarta yang mencampuradukkan antara Bahasa Indonesia dengan bahasa asing. Beberapa kata yang muncul seperti literally atau which is yang kerap kali terucap dalam Bahasa Jaksel.
Hal ini menimbulkan interpretasi baru bahwa orang-orang yang menggunakan Bahasa Jaksel yang semi Inggris adalah orang-orang yang “gaul”, terutama kaum millennial dan gen z. Bahasa “gaul” ini menjadi bahasa viral di sebagian kalangan anak-anak muda Jakarta. Secara tidak langsung, hal ini menggerus eksistensi Bahasa Indonesia dan memunculkan rasa kebanggaan atas penggunaan bahasa asing.
Fenomena tersebut tak bisa diremehkan. Sebab, meski terlihat seperti noktah kecil, fenomena Bahasa Jaksel memperlihatkan minat Generasi muda yang mengalami pengikisan kepribadian dan jati diri bangsa.
Optimis
Meski terus mendapat hambatan dan tantangan, adalah fakta bahwa Bahasa Indonesia tetap menjadi bahasa utama. Bahasa Indonesia tetap kokoh berkembang dan menjadi bahasa nasional yang digunakan secara formal dari Sabang sampai Merauke.
Jajak Pendapat Kompas pada 18-20 Oktober 2022 terhadap 510 responden di 34 provinsi melaporkan hasil bahasa yang paling sering digunakan.
Bahwa ternyata bahasa yang paling sering digunakan di rumah adalah bahasa daerah sebesar 73,07%; disusul Bahasa Indonesia sebesar 26,75%; lalu bahasa asing sebesar 0,18%. Sementara dalam ranah pergaulan, bahasa yang paling sering digunakan adalah bahasa daerah sebesar 60,57%; disusul Bahasa Indonesia sebesar 39,32%; dan bahasa asing sebesar 0,11%.
Berdasar jajak pendapat tersebut, Bahasa Indonesia masih menempati sesuatu yang penting mengingat di tengah beragamnya bahasa daerah. Penggunaan Bahasa Indonesia sebagai bahasa formal dipastikan masih efektif di seluruh wilayah Indonesia.
Bagaimanapun, kita harus optimis dengan Bahasa Indonesia. Generasi muda harus turut melestarikan Bahasa Indonesia sebagai bahasa identitas nasional, sekaligus bahasa perjuangan. Sebab, Bahasa Indonesia tidak akan terlestarikan jika Generasi muda tidak melestarikannya.